Tuesday 5 September 2017

Kegembiraan Kecil di Gang Abdul Jabar




Seorang pemain Lenong Betawi dari Sanggar Kembang Kelapa, sedang membenahi pakaiannya, menghadap ke Mural karya komunitas  Urbanspace di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Foto:
 Fendi Siregar


Sebuah momen kegembiraan sederhana dirayakan di gang kecil berjuluk Abdul Jabar, di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Abdul Jabar diambil dari tokoh masyarakat Betawi setempat dan generasi penerusnya mengabadikan namanya pada sebuah jalan.

Kegembiraan-kegembiraan mungil memang didamba warga Jakarta. Utamanya, mereka yang kurang beruntung, yakni lapisan masyarakat paling bawah. Sebab kota raksasa ini menanggung beban banyak hal, seperti biaya hidup melecut tinggi, ketimpangan sosial makin terenggang lebar dan meledaknya populasi yang memicu kelelahan psikologis dari hari ke hari. Acapkali, ada dua pilihan tersisa bagi penghuninya: terus bertahan atau menyerah; terdesak keluar dari Jakarta.  

Lembaga dunia independen dari AS, Demographia dengan Annual World Urban Areas melansir datanya pada 2017 bahwa teritori Asia secara pesat mendominasi ranking  kota-kota yang berpopulasi terpadat sedunia.  Wilayah kota Tokyo-Yokohama masih mempertahankan area urban yang terpadat bahkan sampai enam dekade. Estimasinya, daerah Tokyo-Yokohama yang ditopang oleh kota-kota kecil sebagai kota satelitnya memiliki 37,9 juta jiwa penduduk.

Sementara Jakarta, dengan wilayah Jabodetabek, sebagai area Megalopolitan menempati rangking ke-2 dengan menanggung populasi 31,8 juta jiwa. Seterusnya New Delhi dan kota-kota satelit di sekitarnya di India, menempati posisi ke-3 dengan jumlah populasi sebesar 26,5 juta manusia. Kota Manila membayangi Jakarta dan Delhi, dengan meloncat dari urutan ke-5, segera sekarang Manila telah bertengger di peringkat ke-4.

Biro Pusat Statistik milik Pemprov DKI memberi panduan pada kita, kota Jakarta sendiri telah suntuk dengan 10 juta orang lebih di lima wilayah (Utara, Barat, Timur, Pusat dan Selatan). Pada pagi sampai sore hari mendapatkan limpahan 2 juta orang lainnya yang mengalir dan mencari nafkah dari kota-kota satelit disekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok).  
   
Kembali pada Gang Abdul Jabar, apakah kemudian warga disana menyerah? Tentu saja tidak. Mereka bertahan dengan kegembiraan kecil yang mereka punya. Gang itu berkelok, bahkan sampai hanya sebatas dua manusia atau bisa dilalui sepeda motor tepat ditengah tubuh gang yang menghubungkan dua jalan lebih besar: Jalan Kedondong dan Jalan Durian Raya, Jakagakarsa adalah kampung mereka dan tetap harus dihidupi.



Seorang petugas kebersihan sedang melakukan tugasnya di depan  Mural bergambar tradisi Betawi Pencak Silat. Foto Fendi: Siregar

Lebar gang tak lebih 3 meter, dihuni begitu ragam manusia dan jenis profesi. Sebagian kecil dari mereka, yang berlokasi di gang atau dalam lingkup satu RT, menempati kelas masyarakat yang dianggap sejahtera. Sebagai contoh, purnawirawan Jenderal TNI, ekspatriat, pengusaha bahkan dua orang selebritas.

 Tapi warga yang lainnya, masih terhimpit kesenjangan akut, yakni: para buruh, karyawan swasta kecil, seniman serta pedagang berskala bawah yang menempati rumah-rumah petak, rumah kontrakan sederhana yang menghuni atau berdekatan lokasinya dengan gang tersebut. Gang Abdul Jabar memang bukan wilayah ghetto atau slum, atau sering disebut daerah kumuh dengan angka kriminalitas tinggi, seperti di Tanah Tinggi, Kelurahan Johar Baru, Jakarta Timur; yang mungkin bisa disandingkan dengan distrik Favela, di Rio de Janerio, Brazil saking padatnya populasi dan resiko kriminalitasnya.

Gang Abdul Jabar jauh lebih aman, tak ada angka kriminalitas yang menonjol dan data konflik sosial nihil. Warga aseli Betawi di gang Abdul Jabbar dari generasi ke-2 sampai ke 4 masih mendominasi populasi dengan hak milik tanah ulayat. Sementara, sisanya adalah pendatang, kemudian menjadi penghuni tetap, dari  warga etnik Jawa, Sunda dan lain-lainnya yang berbaur dalam kehidupan keseharian. 

Sampai sekarang, warga Betawi dan tanahnya setapak demi setapak mulai dirayu untuk dijual pada para investor yang membangun rumah-rumah standar dan modern dengan nilai miliaran rupiah nantinya. Tentu, jika tanah dibeli dan kemudian usai dibangun siap ditawarkan.
Siapa saja pasti menganggap Gang ini vital atau daerah-daerah di seluruh Kelurahan Jagakarsa.Wilayah  Jakarta Selatan relatif masih berudara sejuk, meskipun lalu-lintas padat dan tak jarang pagi hari macet total. Gang Abdul Jabar  terbilang masih dekat dengan paru-paru kota, dengan pusat kota di Jakarta Selatan tepatnya tak lebih 1,5 kilometer dari Kebun Binatang Ragunan. Sebuah lokasi hutan kota dengan wilayah berhektar-hektar.

Agustus 2017 lalu, tembok-tembok besar rumah pribadi maupun tembok kluster-kluster mini dengan sejumlah 4-5 rumah berdekatan dengan rumah petak dan rumah-rumah sederhana di gang  dijadikan kanvas besar para seniman-seniman.


Seorang petugas kebersihan setempat dan seorang pemulung nampak terlihat di depan Mural bergambar tradisi Tanjidor dan Pencak Silat khas budaya warga Betawi. Foto: Fendi Siregar


Festival Gang

Festival Gang diawali ide sederhana, sekelompok seniman dan pekerja kreatif, pelukis dan disainer, serta fotographer di komunitas Urban Space ingin menularkan optimisme hidup pada warga sekitar. Terlebih warga yang kurang mampu, bersama membangun harap lewat seni. Workshop demi workshop digelar, pertemuan-demi pertemuan direncanakan dengan pemuda karang taruna setempat serta ketua RT.

Mereka memusatkan perhatian, bagaimana seharusnya mendidik dalam waktu sama terdidik diri sendiri sebagai manusia? Tak ada metode yang ketat, guru dan murid setara, berani melapangkan dadanya, mengasah daya nalar dan memahami kepekaan intuisi dari lingkungan sekitar.  Mereka membebaskan pun kreatifitas yang dipilih paling sederhana dengan merangkai daun janur untuk membuat ketupat atau mempertanyakan kembali, kenapa harus membuat “rajah” ala  Henna untuk mengindahkan tangan-tangan mungil anak-anak yang sudah indah itu? 

Untuk apa sebenarnya berkesenian itu? Melepaskan lara dalam keseharian atau membagi beban agar tetap tertahan?  Satu demi satu kantung-kantung komunitas seni dari daerah lain terketuk; dan tertarik bergabung sejak 2011. Tatkala festival gang pertama digelar, seniman-seniman street art pun menyambangi, sampai sanggar-sanggar kesenian lokal, tradisi budaya Betawi digeber untuk memeriahkan panggung pertunjukan yang dihelat pada bulan Agustus.

Fendi Siregar, seorang fotografer senior dan pengajar di Istitut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai perlu dua kali hadir, merekam perayaan ke-2 Festival Gang abdul Jabar unik ini pada 19 Agustus 2017 lalu. Disusul dua orang penyair Amien Kamil dan Sihar Ramses Simatupang,  seniman street art dari Jogjakarta Media Legal, komunitas lain seperti Jakarta Art Movement (JAM), Wedha Pop Art Portrait (WPAP), komunitas Taring Babi, serta seorang penyannyi hip-hop, Willy Winarko yang sekaligus youtuber menyumbangkan talenta-talentanya.



Anak-anak sedang bermain-main di depan Mural. Pada sore hari, mereka akan bersama teman-teman sebayanya mengisi warna dan ornamen tertentu di dinding pada 19 Agustus 2017, Foto: Fendi Siregar


Fendi Siregar membidik kameranya pada anak-anak kecil yang bermain dan mempersiapkan diri dengan cat warna-warni untuk mengisi pola-pola dan ornamen doodle dari mural yang disediakan ditembok, sampai mengambil angle tertentu untuk atraksi pencak silat dari ritual Palang Pintu yang dilakukan sanggar kesenian Betawi Kembang Kelapa. Foto lainnya, Fendi menyukai kondisi kekontrasan lukisan mural gajah-gajah, simbol sang kuat dan dihadapkan pada seorang pemulung yang melintas didepan mural. Apakah ia ingin mengutarakan kesenjangan yang terjadi? Bisa jadi.  

Kegembiraan kecil di Gang Abdul Jabar mungkin tak begitu penting, ditekan gemuruhnya kota jumawa seperti Jakarta dengan seluruh masalah lebih besar lainnya. Namun, ia adalah wajah kita bersama yang tiap hari ditoreh kegundahan-kegundahan di kota yang sama. Sekali tiap tahun, mereka semua, orang-orang sederhana itu membasuhnya dengan kegembiraan-kegembiraan kecil. Kemudian menyeringai dan tertawa-tawa bersama di bulan sakral bagi Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sajak penyair Sihar Ramses Simatupang malam itu di panggung bergetar dibacakan. Mengalirkan energi empati untuk tetap terus berharap:   


anakku, sejarah makin tenggelam
di ujung senja.
aku tak tahu apa fajar
akan tumbuh di kelopak matamu.
telah terpupus cerita tanah kita,
dari gurat daun lontar
dan halaman buku dunia.
apa engkau masih tak mengerti.

 "lihat, seribu biduk telah dibawa
dari pulau-pulau asing.
membawa perompak ke tanah ini.
engkau jangan bersauh,
sebelum mampu menghitung
rasi dan wuku.
jangan diam ketika maut mengintai
di pintu gerbang".
padaku tak ada lagi wasiat
dan seni perang,
sebab perkamen telah dirampok
dan jejak kita terancam hilang.

 "bangunlah dari mimpi, nak.
buat rumah nelayan dan petani
di dalam petak huma dan tubuh ikan.
nyanyikan lagu tanah air beta,
berkumandanglah di pasir laut
dan lumpur sawah".

aku pergi seperti seribu pesakitan,
yang membawa bertumpuk
amanat nenek moyang.
angkat tilammu,
pakailah kasutmu.
tarikkan nafasmu,
hentakkan tenagamu.
berangkatlah dengan seribu zirah
setumpuk pustaka
sekibar bendera
di tangan tercancang.

Indonesia:
adalah nafas kita.




Penulis esai: Bambang Asrini Widjanarko