Sunday 18 February 2018

Kampoong Art Attack: Seni Untuk Warga Kampung Besar Jakarta


Seorang seniman sreet art membuat imej robot-robot di dinding rumah warga kampung Babakan, Binong, Tangerang pada 2014. Foto: Indah Ariani

Segregasi sosial pun kultural telah meminggirkan warga kampung-kampung di Jakarta. Peran apa yang dilakukan oleh seniman dengan karya-karya seni-nya?

Kampung, kampong atau kampoong di Jakarta adalah sebuah entitas masyarakat yang mendiami  wilayah urban—urban village, ditengah-tengah kota. Mereka memiliki identitas yang terkait sejarah masa silam. Potret kontrak sosial sekumpulan orang yang unik.

Para pendatang (dari berbagai daerah di wilayah Nusantara) dan imigran (luar) yang bermukim dan berkelompok sejak masa kolonial Belanda atau bahkan ratusan tahun sebelumnya, hidup dan beranak-pinak disana. Kampung-kampung tersebut ditandai dengan ciri-ciri suku/ etnik yang sama, membedakan dengan kampung lain.

Pada abad ke-20, meskipun abad-abad yang silam telah lewat, tapi jejak-jejak budaya dan lokasi geografi sekaligus warga kampung-kampung tersebut masih tertera dengan jelas. Era modern kota Jakarta menjadi tantangan eksistensinya;  bahwa keniscayaan komunitas kampung-kampung yang majemuk yang menyimpan potensinya yang tetap besar.

Ikatan dan ingatan komunal hidup bersama adalah bentuk paling baik untuk selalu  mempertahankannnya sebagai modal sosial dan tidak sekalipun ada kebijakan yang baik untuk menggusurnya dengan dalih pembangunan. Dimensi gemeinschaft,  masyarakat berciri paguyuban yang warganya terhubung secara intim, warga yang saling mengenal secara personal sesama warga masih tetap bisa kita ketemukan.

Kita merasakan masih ada optimisme disana. Sebagian kampung memang telah bertransformasi/ berkembang menjadi modern dan layak untuk ditinggali; tapi sebagian lainnya terdesak dan  tertinggal, ter-eksklusi, menjadi kumuh, miskin dan tidak  berdaya.  Sangat rentan menjadi titik picu konflik dan permasalahan serius kota sebesar Jakarta ini.

Problem perencanaan kota yang semrawut, tingkat urbanisasi yang menggila tiap tahun, keputusan politik Pemerintah kota yang berpihak pada kelas menengah- atas, terbatasnya ruang untuk tempat tinggal, pengaruh investor besar segera saja menelantarkan kampung-kampung dengan masyarakatnya yang  “old fashioned” ini dan mengubahnya menjadi masyarakat “marginal”.

Yang pada akhirnya warga kampung menghadapi masalah sosial klasik nan pelik seperti pengangguran, kemiskinan, putus sekolah,  kekerasan horisontal (tawuran) dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya. Yang paling rentan adalah: digunakan secara keji, dihasut,  oleh para elit politik dalam pengumpulan suara pada masa-masa pemilihan pejabat publik yang datang dari mana saja. Pemerintah, partai politik dan ormas-ormas tertentu sama saja.



Dua orang warga berboncengan motor melintas di jalan kampung di Gang Abdul Jabar2, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Nampak mural-mural besar adalah hasil dari perayaan Festival Gang Abdul Jabar 2, 2017. Foto: Fendi Siregar


Seni, Seniman dan Kampoong Art Attack

Sebuah komunitas, sekelompok pekerja seni, seniman atau pekerja kreatif kecil berjuluk Jakarta Art Movement (JAM) mencoba membuat program seni kampung: kampoong art attack sejak 2012.
Berharap bahwa seni dan seniman dengan karyanya bisa menjadi modal sosial & budaya untuk setidaknya meredusir problem sosial, melakukan upaya-upaya bersama mendialogkan kemungkinan terciptanya “transformasi komunal” di kelompok warga-warga kampung tertentu. Berupaya membangun kepercayaan individu sekaligus komunal dengan masyarakat kampung. Mencoba membangun empati dengan kreatifitas.

Berkaca pada seni kontemporer global; yang berhutang pada ekspresi seni tradisi dan lokalitas,  yang menekankan keterhubungan, gotong-royong, dalam bentuknya sebagai seni, desain dan arsitektur yang bertumpu pada akar-akar arus bawah di masyarakat; berharap bisa merefleksikan dan menangkap ruh keseharian masyarakat kelas menengah-bawah.

Tanpa meninggalkan modal kultural, seni kontemporer yang berdimensi sosial ini telah diterapkan di beberapa negara serta berperan membuat transformasi pada masyarakat setempat pada masanya. Di lokasi-lokasi urban village atau bahkan pusat kota pun taman-taman kota. Seperti proyek seni instalasi di Haiti dengan tajuk Ghetto Biennale, proyek-proyek seni fotografi oleh seniman street art  J.R di Tunisia, proyek seni instalasi dan arsitektur di distrik Dharavi, India, dan proyek arsitektur dan mural di wilayah slum, di distrik Favela, di Rio de Janeiro, Brazil.

Atau, kerja militan seniman Banksy dari Inggeris di tembok pemisah negara Palestina-Israel di Ramallah di Tepi Barat sampai kota modern seperti Dresden di Jerman yang direspon oleh sekumpulan aktivis cum seniman yang melakukan kerja-kerja seni propaganda dan performans untuk perdamaian.

Pada 2012-2013, kembali ke topik seni dan komunitas di kampung-kamung Jakarta dan sekitarnya, komunitas JAM melakukan pembentukan sekolah seni infomal di kampung yang penuh konflik horisontal (tawuran) di Johar Baru, di Jakarta Pusat. Tak ada itikad untuk mengakhiri konflik dengan akar-akar politis yang dibawa sejak sejarah ratusan tahun lalu di kompleks di area ini, JAM hanya menawarkan sebuah wacana seni berparas sosial, melalui proses pendidikan yang menjadi alat bernegosiasi meredusir kekerasan.

JAM mencuri waktu-waktu mereka yang kebanyakan pengangguran, buruh kecil atau pun mereka yang putus sekolah dan harus mencari nafkah, untuk belajar seni tari dan street art. Dengan demikian, melupakan sejenak atmosfir kekerasan di tempat tersebut. Mereka, warga kampung, sebagian besar remaja dan awal usia 20-an; terpikat dan bergabung, sejumlah 50-an pemuda.

Belajar bersama di  kelas-kelas informal di balai warga setempat menjadikan mereka sadar akan tubuh mereka sendiri, kelenturan dan ketrampilan raga-nya yang memiliki bakat menari;  serta kemampuan menjajal berbagai ketrampilan memproduksi karya stencil art dan graffiti.

Bersama sejumlah orang dari tim peneliti Universitas Indonesia Laboratorium Sosiologi bekerja bareng membuat kerja-kerja seni sebagai produk kebudayaan yang tidak terkungkung pada objek dalam penciptaan karya. Tapi, masyarakatlah yang menjadi subyek sekaligus objek utama, tak lagi hanya seniman.


Seorang penari perempuan menjadi instruktur para pemuda di kampung Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat pada 2012-2013. Foto: JAM

JAM beralih ke kota Tangerang pada 2014, dengan proyek seni dengan tema Tembok Belajar yang mengaplikasikan ekspresi street art dengan mengadopsi konsep standar dinding pengajaran. Standar pembelajaran ini sering dipakai untuk materi mengajar sekolah di tingkat dasar atau primary grade. Tembok-tembok warga di kampoong Babakan, Tangerang dilabur dengan karya-karya dari seniman street art berupa  gambar-gambar atau angka, buah dan binatang jenaka yang memudahkan berhitung,  membaca, dan pengenalan berbahasa Inggeris dasar pada anak-anak.

Karya-karya di tembok warga ini, mengingatkan, menghubungkan anak dengan lingkungan sekitar dan sensifitas syaraf motorik kebermainan mereka.  Dengan kreatifitasnya, para seniman saling bertemu orang tua warga, menjajal kemungkinan ingatan masa – masa kecil mereka membuat permainan sederhana dan mendiskusikannya secara berkala. Tak hanya di tembok, tanah dan lahan lain di kampung menjadi hamparan anak-anak warga kampung yang kemudian  meresponnya, menggunakannya menjadi bagian kegembiraan-kegembiraan kecil mereka.

Pertumbuhan Kota Tangerang hari ini memang merebak pesat, seperti pusat satelitnya, Jakarta, menjadikan kelompok kota-kota mandiri di dalamnya meraksasa. Wilayah ini menyediakan fasilitas internasional seperti rumah sakit, perumahan elit yang eksklusif, universitas, pusat perkantoran, hotel dan belanja super modern.

 Sementara, memisahkan kampung-kampung tradisional disekitarnya.
 JAM dan komunitas setempat, Agen Kultur, dengan proyek seni  Tembok Belajar membuka “tembok-tembok tebal” yang meminimalisir warga setempat untuk mengakses pendidikan. Setidaknya, seniman-seniman telah memberi ruang  anak-anak itu terus belajar dengan bermain-bermain untuk sementara waktu, dengan cara-cara yang lebih kreatif daripada di ruang-ruang kelas formal.


Sekelompok seniman street art, bersama anak-anak sedang bekerja bareng membuat mural tentang pendidikan dasar ajar-mengajar di tembok seorang warga kampung dengan proyek "Tembok Belajar" pada 2014 di Tangerang. Foto: JAM 


Sebelum menggelar event pada 2017, dengan Festival Gang Abdul Jabar 2 di Jagakarsa, Jakarta Selatan, bersama komunitas Urbanspace,  JAM telah kembali ke ibu kota dan langsung menuju perbatasan Kampung Melayu-Jatinegara dengan berkonsentrasi di kampung Bali Mester, Jatinegara. Kampung Bali Mester adalah kampung yang majemuk dalam konteks etnis, budaya, dan keyakinan warganya.

  
Kampung Bali Mester adalah kampung etnis Bali yang sama tuanya dengan pemukim etnis Bali di Tambora, Jakarta Barat. Penamaan ’Mester’ diambil dari nama Meester Cornelis, penginjil yang membeli tanah di kawasan itu pada 13 Desember 1656.

Sejak saat itu, Bali Mester menjadi cawan akulturasi berbagai latar belakang etnis dan budaya.Sebagai cawan adukan berbagai budaya, Bali Mester menyatu dalam perbedaan yang saling diterima para warganya. Kearifan leluhur Bali Mester menenggang ragam terwariskan hingga kini, termasuk ketika Bali Mester bersinggungan dengan kompleksitas urban Jakarta.

JAM berkerja terus dengan komunitas-komunitas setempat, dan kali ini dalam konteks Kampung Bali Mester pada 2016, dengan komunitas peduli skizofrenia Indonesia, pesan yang disampaikan jelas dengan menawarkan asa tentang toleransi, kerukunan dan saling bekerjasama antar warga kampung. Di situs  Kampung Bali Mester-lah, yang membuat street art dan seni tari bisa bicara dengan jangkauan lebih luas dan lebih lugas.

Pada 2018 ini, kembali komunitas seni JAM bertanya-tanya, masihkah ada sebagian dari warga Jakarta peduli pada kampung-kampung-nya sendiri? Tempat tetirah badan dan jiwa tatkala usai bekerja penuh sepanjang hari untuk meraih impian-impian?

Masihkah proyek seni kampoong art attack kembali digaungkan dan dilanjutkan, sementara sebagian besar hari ini; kita menghabiskan waktu dengan persoalan politik, perebutan kuasa atas jabatan, yang tak lebih hanya terjadi lima tahun sekali saja. Kemudian, membuang-buang energi di media sosial, membincangkannya seolah hal terpenting dalam hidup kita.  Jakarta dan kampung-kampung-nya kemudian, makin terdesak dan tertinggal, terlantar, menjadi kumuh, miskin dan tidak berdaya, menghilang dari ingatan. 


Bambang Asrini Widjanarko