Seorang seniman sreet art membuat imej robot-robot di dinding rumah warga kampung Babakan, Binong, Tangerang pada 2014. Foto: Indah Ariani
Segregasi sosial pun
kultural telah meminggirkan warga kampung-kampung di Jakarta. Peran apa yang
dilakukan oleh seniman dengan karya-karya seni-nya?
Kampung, kampong atau kampoong
di Jakarta adalah sebuah entitas masyarakat yang mendiami wilayah urban—urban village, ditengah-tengah kota. Mereka
memiliki identitas yang terkait sejarah masa silam. Potret kontrak sosial
sekumpulan orang yang unik.
Para pendatang (dari berbagai daerah di wilayah Nusantara)
dan imigran (luar) yang bermukim dan berkelompok sejak masa kolonial Belanda
atau bahkan ratusan tahun sebelumnya, hidup dan beranak-pinak disana.
Kampung-kampung tersebut ditandai dengan ciri-ciri suku/ etnik yang sama,
membedakan dengan kampung lain.
Pada abad ke-20, meskipun abad-abad yang silam telah lewat,
tapi jejak-jejak budaya dan lokasi geografi sekaligus warga kampung-kampung
tersebut masih tertera dengan jelas. Era modern kota Jakarta menjadi tantangan
eksistensinya; bahwa keniscayaan komunitas
kampung-kampung yang majemuk yang menyimpan potensinya yang tetap besar.
Ikatan dan ingatan komunal hidup bersama adalah bentuk
paling baik untuk selalu mempertahankannnya sebagai modal sosial dan
tidak sekalipun ada kebijakan yang baik untuk menggusurnya dengan dalih
pembangunan. Dimensi gemeinschaft, masyarakat berciri paguyuban yang warganya terhubung
secara intim, warga yang saling mengenal secara personal sesama warga masih
tetap bisa kita ketemukan.
Kita merasakan masih ada optimisme disana. Sebagian kampung memang
telah bertransformasi/ berkembang menjadi modern dan layak untuk ditinggali; tapi
sebagian lainnya terdesak dan
tertinggal, ter-eksklusi, menjadi kumuh, miskin dan tidak berdaya.
Sangat rentan menjadi titik picu konflik dan permasalahan serius kota
sebesar Jakarta ini.
Problem perencanaan kota yang semrawut, tingkat urbanisasi
yang menggila tiap tahun, keputusan politik Pemerintah kota yang berpihak pada
kelas menengah- atas, terbatasnya ruang untuk tempat tinggal, pengaruh investor
besar segera saja menelantarkan kampung-kampung dengan masyarakatnya yang “old
fashioned” ini dan mengubahnya menjadi masyarakat “marginal”.
Yang pada akhirnya warga kampung menghadapi masalah sosial klasik
nan pelik seperti pengangguran, kemiskinan, putus sekolah, kekerasan horisontal (tawuran) dan bentuk-bentuk
kriminalitas lainnya. Yang paling rentan adalah: digunakan secara keji,
dihasut, oleh para elit politik dalam
pengumpulan suara pada masa-masa pemilihan pejabat publik yang datang dari mana
saja. Pemerintah, partai politik dan ormas-ormas tertentu sama saja.
Dua orang warga berboncengan motor melintas di jalan kampung di Gang Abdul Jabar2, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Nampak mural-mural besar adalah hasil dari perayaan Festival Gang Abdul Jabar 2, 2017. Foto: Fendi Siregar
Seni, Seniman dan Kampoong Art Attack
Sebuah komunitas, sekelompok pekerja seni, seniman atau
pekerja kreatif kecil berjuluk Jakarta Art Movement (JAM) mencoba membuat
program seni kampung: kampoong art attack
sejak 2012.
Berharap bahwa seni dan seniman dengan karyanya bisa menjadi
modal sosial & budaya untuk setidaknya meredusir problem sosial, melakukan
upaya-upaya bersama mendialogkan kemungkinan terciptanya “transformasi komunal”
di kelompok warga-warga kampung tertentu. Berupaya membangun kepercayaan individu
sekaligus komunal dengan masyarakat kampung. Mencoba membangun empati dengan kreatifitas.
Berkaca pada seni kontemporer global; yang berhutang pada
ekspresi seni tradisi dan lokalitas,
yang menekankan keterhubungan, gotong-royong, dalam bentuknya sebagai
seni, desain dan arsitektur yang bertumpu pada akar-akar arus bawah di
masyarakat; berharap bisa merefleksikan dan menangkap ruh keseharian masyarakat
kelas menengah-bawah.
Tanpa meninggalkan modal kultural, seni kontemporer yang
berdimensi sosial ini telah diterapkan di beberapa negara serta berperan membuat
transformasi pada masyarakat setempat pada masanya. Di lokasi-lokasi urban village atau bahkan pusat kota pun
taman-taman kota. Seperti proyek seni instalasi di Haiti dengan tajuk Ghetto
Biennale, proyek-proyek seni fotografi oleh seniman street art J.R di Tunisia, proyek seni instalasi dan
arsitektur di distrik Dharavi, India, dan proyek arsitektur dan mural di
wilayah slum, di distrik Favela, di Rio de Janeiro, Brazil.
Atau, kerja militan seniman Banksy dari Inggeris di tembok
pemisah negara Palestina-Israel di Ramallah di Tepi Barat sampai kota modern
seperti Dresden di Jerman yang direspon oleh sekumpulan aktivis cum seniman yang melakukan kerja-kerja
seni propaganda dan performans untuk perdamaian.
Pada 2012-2013, kembali ke topik seni dan komunitas di
kampung-kamung Jakarta dan sekitarnya, komunitas JAM melakukan pembentukan
sekolah seni infomal di kampung yang penuh konflik horisontal (tawuran) di
Johar Baru, di Jakarta Pusat. Tak ada itikad untuk mengakhiri konflik dengan
akar-akar politis yang dibawa sejak sejarah ratusan tahun lalu di kompleks di
area ini, JAM hanya menawarkan sebuah wacana seni berparas sosial, melalui
proses pendidikan yang menjadi alat bernegosiasi meredusir kekerasan.
JAM mencuri waktu-waktu mereka yang kebanyakan pengangguran,
buruh kecil atau pun mereka yang putus sekolah dan harus mencari nafkah, untuk
belajar seni tari dan street art. Dengan demikian, melupakan sejenak atmosfir
kekerasan di tempat tersebut. Mereka, warga kampung, sebagian besar remaja dan
awal usia 20-an; terpikat dan bergabung, sejumlah 50-an pemuda.
Belajar bersama di
kelas-kelas informal di balai warga setempat menjadikan mereka sadar
akan tubuh mereka sendiri, kelenturan dan ketrampilan raga-nya yang memiliki
bakat menari; serta kemampuan menjajal
berbagai ketrampilan memproduksi karya stencil art dan graffiti.
Bersama sejumlah orang dari tim peneliti Universitas
Indonesia Laboratorium Sosiologi bekerja bareng membuat kerja-kerja seni
sebagai produk kebudayaan yang tidak terkungkung pada objek dalam penciptaan
karya. Tapi, masyarakatlah yang menjadi subyek sekaligus objek utama, tak lagi
hanya seniman.
Seorang penari perempuan menjadi instruktur para pemuda di kampung Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat pada 2012-2013. Foto: JAM
JAM beralih ke kota Tangerang pada 2014, dengan proyek seni dengan
tema Tembok Belajar yang mengaplikasikan ekspresi street art dengan mengadopsi
konsep standar dinding pengajaran. Standar pembelajaran ini sering dipakai
untuk materi mengajar sekolah di tingkat dasar atau primary grade. Tembok-tembok warga di kampoong Babakan, Tangerang dilabur
dengan karya-karya dari seniman street art berupa gambar-gambar atau angka, buah dan binatang
jenaka yang memudahkan berhitung,
membaca, dan pengenalan berbahasa Inggeris dasar pada anak-anak.
Karya-karya di tembok warga ini, mengingatkan, menghubungkan
anak dengan lingkungan sekitar dan sensifitas syaraf motorik kebermainan
mereka. Dengan kreatifitasnya, para
seniman saling bertemu orang tua warga, menjajal kemungkinan ingatan masa –
masa kecil mereka membuat permainan sederhana dan mendiskusikannya secara
berkala. Tak hanya di tembok, tanah dan lahan lain di kampung menjadi hamparan
anak-anak warga kampung yang kemudian meresponnya, menggunakannya menjadi bagian
kegembiraan-kegembiraan kecil mereka.
Pertumbuhan Kota Tangerang hari ini memang merebak pesat, seperti
pusat satelitnya, Jakarta, menjadikan kelompok kota-kota mandiri di dalamnya
meraksasa. Wilayah ini menyediakan fasilitas internasional seperti rumah sakit,
perumahan elit yang eksklusif, universitas, pusat perkantoran, hotel dan
belanja super modern.
Sementara, memisahkan kampung-kampung tradisional disekitarnya.
Sementara, memisahkan kampung-kampung tradisional disekitarnya.
JAM dan komunitas
setempat, Agen Kultur, dengan proyek seni
Tembok Belajar membuka “tembok-tembok tebal” yang meminimalisir warga
setempat untuk mengakses pendidikan. Setidaknya, seniman-seniman telah memberi
ruang anak-anak itu terus belajar dengan
bermain-bermain untuk sementara waktu, dengan cara-cara yang lebih kreatif
daripada di ruang-ruang kelas formal.
Sekelompok seniman street art, bersama anak-anak sedang bekerja bareng membuat mural tentang pendidikan dasar ajar-mengajar di tembok seorang warga kampung dengan proyek "Tembok Belajar" pada 2014 di Tangerang. Foto: JAM
Sebelum menggelar event pada 2017, dengan Festival Gang
Abdul Jabar 2 di Jagakarsa, Jakarta Selatan, bersama komunitas Urbanspace, JAM telah kembali ke ibu kota dan langsung
menuju perbatasan Kampung Melayu-Jatinegara dengan berkonsentrasi di kampung
Bali Mester, Jatinegara. Kampung Bali Mester adalah kampung yang majemuk dalam
konteks etnis, budaya, dan keyakinan warganya.
Kampung Bali Mester adalah kampung etnis Bali yang sama
tuanya dengan pemukim etnis Bali di Tambora, Jakarta Barat. Penamaan ’Mester’
diambil dari nama Meester Cornelis, penginjil yang membeli tanah di kawasan itu
pada 13 Desember 1656.
Sejak saat itu, Bali Mester menjadi cawan akulturasi
berbagai latar belakang etnis dan budaya.Sebagai cawan adukan berbagai budaya,
Bali Mester menyatu dalam perbedaan yang saling diterima para warganya.
Kearifan leluhur Bali Mester menenggang ragam terwariskan hingga kini, termasuk
ketika Bali Mester bersinggungan dengan kompleksitas urban Jakarta.
JAM berkerja terus dengan komunitas-komunitas setempat, dan
kali ini dalam konteks Kampung Bali Mester pada 2016, dengan komunitas peduli
skizofrenia Indonesia, pesan yang disampaikan jelas dengan menawarkan asa tentang
toleransi, kerukunan dan saling bekerjasama antar warga kampung. Di situs Kampung Bali Mester-lah, yang membuat street
art dan seni tari bisa bicara dengan jangkauan lebih luas dan lebih lugas.
Pada 2018 ini, kembali komunitas seni JAM bertanya-tanya,
masihkah ada sebagian dari warga Jakarta peduli pada kampung-kampung-nya
sendiri? Tempat tetirah badan dan jiwa tatkala usai bekerja penuh sepanjang
hari untuk meraih impian-impian?
Masihkah proyek seni kampoong
art attack kembali digaungkan dan dilanjutkan, sementara sebagian besar
hari ini; kita menghabiskan waktu dengan persoalan politik, perebutan kuasa
atas jabatan, yang tak lebih hanya terjadi lima tahun sekali saja. Kemudian,
membuang-buang energi di media sosial, membincangkannya seolah hal terpenting
dalam hidup kita. Jakarta dan
kampung-kampung-nya kemudian, makin terdesak dan tertinggal, terlantar, menjadi
kumuh, miskin dan tidak berdaya, menghilang dari ingatan.
Bambang Asrini Widjanarko