Seorang pemain Lenong Betawi dari Sanggar Kembang Kelapa, sedang membenahi pakaiannya, menghadap ke Mural karya komunitas Urbanspace di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Foto:
Fendi Siregar
Sebuah momen kegembiraan sederhana dirayakan di gang kecil
berjuluk Abdul Jabar, di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Abdul Jabar diambil
dari tokoh masyarakat Betawi setempat dan generasi penerusnya mengabadikan
namanya pada sebuah jalan.
Kegembiraan-kegembiraan mungil memang didamba warga Jakarta.
Utamanya, mereka yang kurang beruntung, yakni lapisan masyarakat paling bawah.
Sebab kota raksasa ini menanggung beban banyak hal, seperti biaya hidup melecut
tinggi, ketimpangan sosial makin terenggang lebar dan meledaknya populasi yang
memicu kelelahan psikologis dari hari ke hari. Acapkali, ada dua pilihan tersisa
bagi penghuninya: terus bertahan atau menyerah; terdesak keluar dari Jakarta.
Lembaga dunia independen dari AS, Demographia dengan Annual
World Urban Areas melansir datanya pada 2017 bahwa teritori Asia secara pesat
mendominasi ranking kota-kota yang berpopulasi
terpadat sedunia. Wilayah kota Tokyo-Yokohama
masih mempertahankan area urban yang terpadat bahkan sampai enam dekade.
Estimasinya, daerah Tokyo-Yokohama yang ditopang oleh kota-kota kecil sebagai kota
satelitnya memiliki 37,9 juta jiwa penduduk.
Sementara Jakarta, dengan wilayah Jabodetabek, sebagai area Megalopolitan
menempati rangking ke-2 dengan menanggung populasi 31,8 juta jiwa. Seterusnya New
Delhi dan kota-kota satelit di sekitarnya di India, menempati posisi ke-3 dengan
jumlah populasi sebesar 26,5 juta manusia. Kota Manila membayangi Jakarta dan
Delhi, dengan meloncat dari urutan ke-5, segera sekarang Manila telah bertengger
di peringkat ke-4.
Biro Pusat Statistik milik Pemprov DKI memberi panduan pada
kita, kota Jakarta sendiri telah suntuk dengan 10 juta orang lebih di lima
wilayah (Utara, Barat, Timur, Pusat dan Selatan). Pada pagi sampai sore hari
mendapatkan limpahan 2 juta orang lainnya yang mengalir dan mencari nafkah dari
kota-kota satelit disekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok).
Kembali pada Gang Abdul Jabar, apakah kemudian warga disana menyerah?
Tentu saja tidak. Mereka bertahan dengan kegembiraan kecil yang mereka punya. Gang
itu berkelok, bahkan sampai hanya sebatas dua manusia atau bisa dilalui sepeda
motor tepat ditengah tubuh gang yang menghubungkan dua jalan lebih besar: Jalan
Kedondong dan Jalan Durian Raya, Jakagakarsa adalah kampung mereka dan tetap
harus dihidupi.
Seorang petugas kebersihan sedang melakukan tugasnya di depan Mural bergambar tradisi Betawi Pencak Silat. Foto Fendi: Siregar
Lebar gang tak lebih 3 meter, dihuni begitu ragam manusia
dan jenis profesi. Sebagian kecil dari mereka, yang berlokasi di gang atau
dalam lingkup satu RT, menempati kelas masyarakat yang dianggap sejahtera.
Sebagai contoh, purnawirawan Jenderal TNI, ekspatriat, pengusaha bahkan dua
orang selebritas.
Tapi warga yang
lainnya, masih terhimpit kesenjangan akut, yakni: para buruh, karyawan swasta
kecil, seniman serta pedagang berskala bawah yang menempati rumah-rumah petak,
rumah kontrakan sederhana yang menghuni atau berdekatan lokasinya dengan gang tersebut.
Gang Abdul Jabar memang bukan wilayah ghetto
atau slum, atau sering disebut
daerah kumuh dengan angka kriminalitas tinggi, seperti di Tanah Tinggi,
Kelurahan Johar Baru, Jakarta Timur; yang mungkin bisa disandingkan dengan distrik
Favela, di Rio de Janerio, Brazil saking padatnya populasi dan resiko
kriminalitasnya.
Gang Abdul Jabar jauh lebih aman, tak ada angka kriminalitas
yang menonjol dan data konflik sosial nihil. Warga aseli Betawi di gang Abdul
Jabbar dari generasi ke-2 sampai ke 4 masih mendominasi populasi dengan hak
milik tanah ulayat. Sementara, sisanya adalah pendatang, kemudian menjadi
penghuni tetap, dari warga etnik Jawa,
Sunda dan lain-lainnya yang berbaur dalam kehidupan keseharian.
Sampai
sekarang, warga Betawi dan tanahnya setapak demi setapak mulai dirayu untuk dijual
pada para investor yang membangun rumah-rumah standar dan modern dengan nilai
miliaran rupiah nantinya. Tentu, jika tanah dibeli dan kemudian usai dibangun siap
ditawarkan.
Siapa saja pasti menganggap Gang ini vital atau
daerah-daerah di seluruh Kelurahan Jagakarsa.Wilayah Jakarta Selatan relatif masih berudara sejuk,
meskipun lalu-lintas padat dan tak jarang pagi hari macet total. Gang Abdul
Jabar terbilang masih dekat dengan
paru-paru kota, dengan pusat kota di Jakarta Selatan tepatnya tak lebih 1,5
kilometer dari Kebun Binatang Ragunan. Sebuah lokasi hutan kota dengan wilayah
berhektar-hektar.
Agustus 2017 lalu, tembok-tembok besar rumah pribadi maupun
tembok kluster-kluster mini dengan sejumlah 4-5 rumah berdekatan dengan rumah
petak dan rumah-rumah sederhana di gang dijadikan kanvas besar para seniman-seniman.
Seorang petugas kebersihan setempat dan seorang pemulung nampak terlihat di depan Mural bergambar tradisi Tanjidor dan Pencak Silat khas budaya warga Betawi. Foto: Fendi Siregar
Festival Gang
Festival Gang diawali ide sederhana, sekelompok seniman dan
pekerja kreatif, pelukis dan disainer, serta fotographer di komunitas Urban
Space ingin menularkan optimisme hidup pada warga sekitar. Terlebih warga yang
kurang mampu, bersama membangun harap lewat seni. Workshop demi workshop
digelar, pertemuan-demi pertemuan direncanakan dengan pemuda karang taruna
setempat serta ketua RT.
Mereka memusatkan perhatian, bagaimana seharusnya mendidik
dalam waktu sama terdidik diri sendiri sebagai manusia? Tak ada metode yang
ketat, guru dan murid setara, berani melapangkan dadanya, mengasah daya nalar
dan memahami kepekaan intuisi dari lingkungan sekitar. Mereka membebaskan pun kreatifitas yang
dipilih paling sederhana dengan merangkai daun janur untuk membuat ketupat atau
mempertanyakan kembali, kenapa harus membuat “rajah” ala Henna untuk mengindahkan tangan-tangan mungil anak-anak
yang sudah indah itu?
Untuk apa sebenarnya berkesenian itu? Melepaskan lara dalam
keseharian atau membagi beban agar tetap tertahan? Satu demi satu kantung-kantung komunitas seni dari
daerah lain terketuk; dan tertarik bergabung sejak 2011. Tatkala festival gang
pertama digelar, seniman-seniman street art pun menyambangi, sampai sanggar-sanggar
kesenian lokal, tradisi budaya Betawi digeber untuk memeriahkan panggung pertunjukan
yang dihelat pada bulan Agustus.
Fendi Siregar, seorang fotografer senior dan pengajar di
Istitut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai perlu dua kali hadir, merekam perayaan ke-2
Festival Gang abdul Jabar unik ini pada 19 Agustus 2017 lalu. Disusul dua orang
penyair Amien Kamil dan Sihar Ramses Simatupang, seniman street art dari Jogjakarta Media
Legal, komunitas lain seperti Jakarta Art Movement (JAM), Wedha Pop Art
Portrait (WPAP), komunitas Taring Babi, serta seorang penyannyi hip-hop, Willy
Winarko yang sekaligus youtuber menyumbangkan talenta-talentanya.
Anak-anak sedang bermain-main di depan Mural. Pada sore hari, mereka akan bersama teman-teman sebayanya mengisi warna dan ornamen tertentu di dinding pada 19 Agustus 2017, Foto: Fendi Siregar
Fendi Siregar membidik kameranya pada anak-anak kecil yang
bermain dan mempersiapkan diri dengan cat warna-warni untuk mengisi pola-pola
dan ornamen doodle dari mural yang
disediakan ditembok, sampai mengambil angle
tertentu untuk atraksi pencak silat dari ritual Palang Pintu yang dilakukan sanggar
kesenian Betawi Kembang Kelapa. Foto lainnya, Fendi menyukai kondisi kekontrasan
lukisan mural gajah-gajah, simbol sang kuat dan dihadapkan pada seorang
pemulung yang melintas didepan mural. Apakah ia ingin mengutarakan kesenjangan
yang terjadi? Bisa jadi.
Kegembiraan kecil di Gang Abdul Jabar mungkin tak begitu penting,
ditekan gemuruhnya kota jumawa seperti Jakarta dengan seluruh masalah lebih besar
lainnya. Namun, ia adalah wajah kita bersama yang tiap hari ditoreh kegundahan-kegundahan
di kota yang sama. Sekali tiap tahun, mereka semua, orang-orang sederhana itu membasuhnya
dengan kegembiraan-kegembiraan kecil. Kemudian menyeringai dan tertawa-tawa
bersama di bulan sakral bagi Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sajak penyair Sihar Ramses Simatupang malam itu di panggung bergetar
dibacakan. Mengalirkan energi empati untuk tetap terus berharap:
anakku, sejarah makin tenggelam
di ujung senja.
aku tak tahu apa fajar
akan tumbuh di kelopak matamu.
telah terpupus cerita tanah kita,
dari gurat daun lontar
dan halaman buku dunia.
apa engkau masih tak mengerti.
"lihat, seribu
biduk telah dibawa
dari pulau-pulau asing.
membawa perompak ke tanah ini.
engkau jangan bersauh,
sebelum mampu menghitung
rasi dan wuku.
jangan diam ketika maut mengintai
di pintu gerbang".
padaku tak ada lagi wasiat
dan seni perang,
sebab perkamen telah dirampok
dan jejak kita terancam hilang.
"bangunlah dari
mimpi, nak.
buat rumah nelayan dan petani
di dalam petak huma dan tubuh ikan.
nyanyikan lagu tanah air beta,
berkumandanglah di pasir laut
dan lumpur sawah".
aku pergi seperti seribu pesakitan,
yang membawa bertumpuk
amanat nenek moyang.
angkat tilammu,
pakailah kasutmu.
tarikkan nafasmu,
hentakkan tenagamu.
berangkatlah dengan seribu zirah
setumpuk pustaka
sekibar bendera
di tangan tercancang.
Indonesia:
adalah nafas kita.
Penulis esai: Bambang Asrini Widjanarko