Tembok Belajar di Kampoong Babakan
"It is not what you see that is
important but what takes place between people."- Rirkrit Tiravanija
Kutipan diatas
diambil dari seniman dunia berasal dari Thailand yang percaya bahwa seni mampu berkoneksi langsung dengan kehidupan bermasyarakat.
Kata-kata Rikrit layak disandang oleh sejumlah individu dan kelompok seniman street
art dari Bandung, Jakarta dan Tangerang yang beraktifitas di kampoong Babakan,
kelurahan Binong, Tangerang.
Sejak Mei
sampai Juli 2013, secara periodik, sekelompok-demi sekelompok mereka melabur, “men-tag”,
melukis, dan “men-stencil” tembok rumah-rumah warga, yang pada tiga dekade ini
menjadi situs pemukiman penduduk beretnis asli Sunda yang “terpinggirkan” karena
hadirnya kota-kota mandiri (clusters).
Poster The Learning Wall by Agenkultur |
Mereka
melakukan kegiatan street artnya dengan berempati pada tema yang dianggap urgen
di kampoong itu, yakni menyoal kebutuhan pendidikan dasar bagi warganya. Mereka
sebut proyek seni ini dengan Tembok Belajar.
Tema awalnya disodorkan oleh dua kelompok komunitas seni sebagai penggagas
utama project, yakni Agenkultur di Tangerang dan Jakarta Art Movement (JAM) di
Jakarta.
Dengan
membangun konsep lewat pertemuan-pertemuan intensif secara berkala antar dua
komunitas sejak awal tahun. Kemudian, berdiskusi, memilah dan memilih
kelompok-kelompok seniman dan menetapkan strategi bentuk seni serta membuat
perencanaan untuk mengeksekusi di kemudian hari. Tentunya, dengan menimbang
kondisi dan potensi di masyarakat kampoong lewat serangkaian survei.
Artist: Ari Ardome Photo: Indah Ariani |
Proyek seni
ini merupakah langkah pertama dari program berjangka panjang yang diniatkan bisa
mewujudkan kampoong Babakan menjadi “Kampoong Edukasi”. Sebuah cita-cita
tentang kampung yang tetap kreatif dan percaya diri, meski “terisolir” oleh
tembok-tembok pembatas “fisik maupun psikis “.
Karena tepat
berada ditengah-tengah pembangunan kota-kota mandiri di Tangerang yang berjejal,
bertumbuh sampai hari ini—dalam bentuknya yang nyata adalah pembangunan perumahan-perumahan
baru yang dibangun oleh para developer besar disekitar wilayah kampoong.
Kampoong Babakan, Agenkultur dan JAM
One of housing clusters near the kampoong area Photo: Agenkultur |
Problem
terbesar dari kota-kota di Asia, termasuk Jakarta adalah meledaknya jumlah
populasi dan pembangunan kota yang tidak terkontrol. Menggelembungkan skala kota
menjadi gigantik. Bertransformasi menjadi kota megacity dengan lebih 10 juta
pemukim.
Yang
akhirnya membentuk kota-kota satelit/ penyangga, seperti kota Tangerang dimana
kampoong Babakan berlokasi—dengan masalah yang sama dengan Jakarta: berkembang
tanpa kendali. Kota Tangerang, yang berjarak 25 km dari pusat kota Jakarta harus
mengalami nasib serupa.
Penulis
seperti Mike Davis dibukunya yang fenomenal Planet
of Slum satu saat menyatakan "for the first time the urban population
of the earth will outnumber the rural. Indeed, given the imprecisions of third
world censuses, this epochal transition may already have occurred".
Transisi
memang sedang terjadi, seperti kata Mike Davis, pemukim wilayah perkotaan jumlahnya
membengkak. Dampak nyata adalah terdesaknya kampung-kampung asli yang memiliki
tanah ulayat sebagai warisan, dan telah digadai serta “di- kota-kan”.
Mereka
mengalami "segregasi budaya" dan proses "pengucilan ekonomi", setahap-demi setahap
dari habitus aslinya di kampoong.
A wall separating the housing cluster with area of kampoong Photo: Agenkultur |
Salah
seorang warga kampung Babakan, H. Nadji (70th) beretnis Sunda, pada sebuah
wawancara mengatakan pada penulis bahwa pembangunan kota-kota mandiri telah
terjadi sejak awal 80an.
Pertumbuhan
kota Tangerang kemudian merebak pesat, menjadikan kelompok kota-kota mandiri di
dalamnya meraksasa. Yang menyediakan fasilitas internasional seperti rumah
sakit, perumahan elit yang ekslusif, universitas, pusat perkantoran, hotel dan
belanja super modern.
Ironisnya segala
infrastruktur hebat tersebut, tak bisa terakses warga kampoong-kampoong kecil
disekitarnya. Fenomena ini, menggeser keberadaan kampoong-kampoong asli. Selain
Babakan yang sudah terancam, seperti di kampoong Kelapa Dua, Bencongan,
Kerubung atau Curug, sebagian penduduknya telah “hijrah” ke tempat lain.
Nadji
mengaku bersama keluarganya, selama tiga generasi mendiami kampoong Babakan—sejak
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan.
“Dulunya,
kita menggarap lahan warisan, bertani dengan menanam padi atau singkong dan berangsur-angsur
beralih profesi”ungkap Nadji. Ia dan penduduk kampoong yang lain, sekarang terpaksa
menyesuaikan diri dengan menjadi buruh pabrik atau bekerja di kawasan kota
mandiri tersebut.
Nadji menyebut, sekitar 25%, warga kampoong sampai sekarang masih bertahan sebagai
petani. Untuk tetap survival, Nadji mencoba berbagai profesi baru. “Saya
sendiri sekarang bekerja sebagai petugas keamanan di kompleks perumahan Karawaci”
ujarnya.
Artist: Duo Coblon, Propagrahic Movement Photo: Agenkultur |
Dari data di
pusat informasi di kelurahan Binong tahun 2012, wilayah seluas 461,28 Ha (461 Km) yang meliputi kampoong Babakan, Cijengir, Galuga, Binong dan Peusar,
memiliki problem kemiskinan dan pengangguran.
Kendala
utamanya adalah rendahnya tingkat pendidikan yang membuat mereka tidak memiliki
akses ketrampilan dan terserap bursa tenaga kerja. Sebagai tolok
ukur, pada tingkat pendidikan terendah saja, pada usia 7-15 tahun sejumlah 2965
orang telah putus sekolah. Dibandingkan jumlah total sekitar 40 ribuan lebih
penduduk, jumlah putus sekolah yang disebut belum seberapa. Angka diatas, belum
dihitung mereka yang putus sekolah sederajat tingkat sekolah lanjut (SMU).
Dari
sanalah, organisasi nirlaba dan komunitas Agenkultur yang tumbuh berakar dari
kampoong Babakan mendedikasikan diri, membuka kelas-kelas pendidikan non formal.
Membantu para pemuda putus sekolah.
Seperti yang
dikatakan oleh pendiri komunitas sekaligus warga setempat, FW Pei “organisasi
kita, yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan budaya yang dirintis dari 2003
telah membelajarkan lebih dari 1200 orang warga Kelurahan Binong yang putus
sekolah dari beragam jenjang usia”.
Ia
menambahkan, Agenkultur mengembangkan program pendidikan non formal ini menjadi
sebuah pusat pendidikan bermetode holistik yang disebut “Sekolah Perubahan”
dengan menawarkan pula kerja dan praktik berkesenian, membuka ruang pendidikan
lebih luas.
FW Pei lebih
lanjut menerangkan bahwa ia membangun jejaring antar komunitas dan kerjasama
yang intensif dengan institusi manapun,
dengan mempraktikkan metode berbeda seperti dijalankan pada proyek
street art Tembok Belajar. Bersama komunitas Jakarta Art Movement (JAM) dan partisipan
sejumlah kelompok dan individu-individu seniman street art.
One afternoon when young peoples gathered at the headquarters of Agenkultur Photo: Indah Ariani |
Sementara
itu, JAM yang semenjak akhir tahun 2012 menginisiasi proyek seni di Kampoong urban,
kerjasamanya dengan Agenkultur adalah aktifitas proyeknya yang kedua yang
merupakan bagian dari proyek seni Kampoong Art Attack, yakni kerja seni di
kampoong -kampoong di Jakarta dan daerah di sekitarnya.
Setelah hampir
setahun JAM ikut serta pada pemberdayaan masyarakat dengan seni dan aktivisme
sosialnya di kampoong rawan konflik horisontal—antar warga, di kampoong Johar
Baru, Jakarta Pusat, JAM sampai hari ini tetap membuka kelas-kelas kreatif tari
kontemporer dan stencil art bersama Universitas Indonesia, Departemen Sosiologi.
Tembok Belajar dan Kolaborasi Street
Art
Artist: ROAR Photo: Agenkultur |
Tema Tembok
Belajar mengadopsi pada konsep standar dinding pengajaran, yang sering dipakai
untuk materi mengajar sekolah di tingkat dasar atau primary grade. Kita akan
menemu tembok-tembok warga di kampoong Babakan dengan karya-karya dari seniman
street art berupa gambar-gambar atau angka,
buah dan binatang jenaka untuk memudahkan berhitung, membaca, dan pengenalan berbahasa Inggeris
dasar pada nak-anak.
Karya-karya
di tembok warga juga menampakkan gambar manusia, semisal tentang tokoh ilmuwan
dunia dengan gestur dan kata-kata yang mengingatkan, menghubungkan anak dengan
lingkungan sekitar. Atau, bentuk tertentu yang menjadi permainan, membuat anak-anak
bisa melihat, kemudian meresponnya dengan gembira.
A community center at kampoong Babakan painted by mural style Photo: Agenkultur |
Kita juga
akan disapa kata-kata yang sifatnya memotivasi untuk bangun pagi atau semangat
berolah raga, merangsang sikap sportif dan jujur. Hari Anak Nasional, yang diperingati pada 23
Juli 2013 di Indonesia sepertinya momentum tepat dengan proyek seni Tembok
Belajar ini.
Kelompok dan
individu street art yang berpartisipasi seperti ISAD, Propagraphic Movement,
RoboWobo, Garis Keras Feat. Spik Lala, Rewind Art, Andi Rharharha, TSAF, JAH,
ROAR, GIMS, Kampret Syndicate, Ardome dan Sadrax Lima Smile, Kampung Segart,
Sekolah Komunitas Johar Baru (SKJB), Agenkultur Art Activist (AAA) memiliki
cara dan metode yang berbeda satu dan yang lainnya. Namun, dengan semangat yang
sama, mereka dengan karya seninya telah membantu sesama.
Artist: TSAF Photo: Agenkultur |
Dengan menggunakan
teknik mural, stencil art atau wheat paste sampai tape art, Kampoong Babakan telah menjadi kampung yang memiliki
beragam karakter visual jenis street art.
Koordinator
program dari JAM, seniman stencil art sekaligus kurator untuk project di Tembok
Belajar, Selo Riemulyadi menyatakan bahwa ia masih konsisten untuk
terus-menerus membuka kemungkinan
pendekatan praktik berkenian yang terhubung secara sosial via street art.
“Misalnya, kita
mengkoordinasikan kelompok-kelompok street art di berbagai kota yang diterapkan
di kampoong-kampoong bermasalah seperti kampoong Babakan ini” kata Selo. Ia
menambahkan bahwa street art sebagai
bagian ekspresi seni yang dihela oleh semangat
kolaboratif memiliki peran lebih nyata di masyarakat.
Cara
seniman-seniman street art yang bekerja pada proyek Tembok Belajar, seperti
yang dilakukan Selo dan kawan-kawannya, dengan berkolaborasi bersama, kerap disebut
para pengamat seni sebagai laku
community based art, socially engaged art, seni partisipatoris atau sebagian
menyebutnya aktivisme seni sosial.
Upaya menanggalkan
batas-batas seni yang otonom, yakni semangat
kemandirian ekspresi estetik individu yang “di belenggu kuat” di dada berangsur-angsur
dilepas untuk merangkul seni yang heteronom. Yakni, jenis seni yang lebih menekankan
sifat komunalitas dengan karakter bentuknya yang berpihak pada persinggungan lingkungan
sosialnya.
Dari seniman
manca negara, sebagai misal, kita bisa
berkaca pada praktik seni partisipatoris
dengan seni kolaboratif, seperti misal kerja artistik kelompok Oda Projesi. Kelompok
tiga perempuan seniman dari Turki, yakni Özge Acıkkol, Günes Savas dan Secil
Yersel.
Pada salah
satu proyek seninya, Oda Projesi meyewa tiga ruang di apartemen di daerah
Galata, Istanbul. Mengadakan workshop bersama anak-anak dengan para tetangga,
mengundang seniman patung untuk
berpiknik bersama sampai mengorganisasikan karnaval anak-anak dengan kelompok
seniman teater. Gejala yang seperti ini, diteruskan selama puluhan tahun, dipentaskan
dalam event-event penting Biennale dunia, seperti Venice Biennale.
Artist: JAH Photo: Agenkultur |
Sementara,
dari perspektif para aktivis street art, sudah jamak bahwa era sekarang mereka membebaskan
diri untuk merespon kemungkinan apa saja, dari daya artistik mereka di jalanan.
Tak lagi berkutat membawa dan mengharuskan narasi-narasi besar sebagai arah
kendali untuk berekspresi.
Beberapa
tahun lalu, sebagai contoh, seniman street art Jace, dari Perancis, melakukan kegiatan sederhana
namun menyentuh: mengadakan perjalanan
ke kepulauan Madagascar dan tinggal disana selama beberapa bulan dengan
orang-orang suku Anakao. Ia melakukan eksperimen seni bersama nelayan
tradisionil setempat dengan perahu-perahunya.
Proyek ini
disebut Jace sebagai pengalaman berbagi dan bergerak untuk warga lokal.
Bekerjasama berkarya di tempat-tempat yang
dianggap Jace di daerah yang “tak tersentuh seni” dan tidak layak huni.
Jace kemudian menuliskan pengalamannya di sebuah buku.
Menimbang
pengalaman Jace, seni jalanan, telah membuka diri seluas-luasnya hari ini,
dengan kemungkinan-kemungkinan anyar. Bahkan,
menjadi medium untuk mendorong semangat belajar bagi anak-anak sekolah dasar,
seperti di Kampoong Babakan, Tangerang dengan proyek seni Tembok Belajar.
Ini
sebenarnya tidak mengherankan, karena sifat komunalitas, dari akar budaya di
Indonesia yang karib dijuluki: gotong royong/ saling tolong antar warga telah
hadir semenjak lama. Jauh sebelum “kesakralan seni modern dunia” yang bercorak
individualis tiba.
Kita juga telah
menyaksikan sejak satu dekade lalu, seniman-seniman individu maupun kelompok
seni yang secara geografis disebut merespon budaya urban, di Indonesia dan kota-kota besar seperti Jogjakarta,
Bandung dan Jakarta makin marak melakukan kerja-kerja kolaboratif artistik
serupa yang berdimensi sosial.
Bambang Asrini Widjanarko
Ketua Jakarta Art Movement (JAM) untuk proyek seni Kampoong Art Attack 2012-2013
The Learning Wall at Kampoong Babakan
A community center at kampoong Babakan before and after painted by mural style Photo: Agenkultur |
Statement by
world-renowned artist from Thailand seemed appropriate to give to a number of
individuals and groups of street artists from the cities like Bandung, Jakarta
and Tangerang who did the art work at kampoong Babakan, subdistrict Binong, Tangerang.
Tangerang is
a city in the Province of Banten, Indonesia located about 25 km west of
Jakarta. It is the third largest urban center in the Jabotabek region after
Jakarta and Bekasi.
From May to
July 2013 on a periodic basis, group after group, those artists have been
working on the walls of local houses. Kampoong Babakan is an urban village area
in the last three decades inhabited by indigenous ethnic Sundanese and it has
been "marginalized" by the establishment of “city clusters”.
Southeast Asian Population by geographic news |
Jakarta and Jabotabek region by geographic news |
Concept of The
Learning Wall has been agreed through a process of intensive meetings on a
regular basis between the two art communities since the beginning of the year. Subsequently
held a discussion, sorting and selecting groups of artists. In addition, making
a strategy on how to create a form of art with a plan to execute by considering
the conditions in kampoong society via a series of surveys.
Artist: Garis Keras feat. Speak Lala and Rewind Art Photo: Agen Kultur |
Kampoong Babakan, Agenkultur and JAM
one house of resident kampoong Babakan |
One house at housing clusters |
In the end,
a giant city like Jakarta have established satellite towns, one of which
is Tangerang. However, Tangerang area
which is Kampoong Babakan located apparently had the same problem with the
Jakarta with an uncontrolled development.
Writer such
as Mike Davis on his phenomenal book entitled Planet
of Slum one time stating "for the first time the urban population of
the earth will outnumber the rural. Indeed, given the imprecisions of third
world censuses, this Epochal transition may already have Occurred" .
A transition
like Mike Davis said really happened. The real impact is experienced as Kampoong
Babakan being pressed today. Those who inherit the land from generation to
generation has been sold to developers of the new cluster. They have
experienced "cultural segregation" and "economic alienation", a process of exclusion that going
step by step to break their original habitus at kampoong.
A new housing cluster development near kampoong Babakan Photo: Agenkultur |
A wall (on the left) that separates the new housing cluster with kampoong's houses (on the right) Photo: Agenkultur |
Ironically
all the great economic infrastructure can not be accessed by residents of
surrounding small kampoongs. Besides Kampoong Babakan already “threatened” as in
kampoong Kelapa Dua, Bencongan, Kerubung or Curug, some of the population has
been moved to another place. As we all
know that a big economic clusters also lead to disparities; on the one hand,
more and more people suffer from poverty, on the other hand, rich people are
getting richer.
Nadji
admitted with his family for three generations inhabiting kampoong Babakan--since
before the independence of the Republic of Indonesia.
"Previously, we work on heritage land, farming with rice plants or cassava and we gradually switched our professions" Nadji said. He and other residents of kampoong now forced to adjust to be a factory worker or working in the new housing cluster. According to Nadji, approximately 25% of the population of kampoong still survive as farmers.
Meanwhile,
to maintain viability, Nadji tried various new profession. "I am now
working as a security guard in a housing complex called Karawaci" he said.
According data from the information center in the chief office of subdistrict
of Binong in 2012, an area of 461.28 hectares (461 Km) which includes
kampoong Babakan, Cijengir, Galuga, Binong and Peusar has problems of poverty
and unemployment.
Land inherited from generation to generation owned by kampoong residents have been sold to developers of housing cluster Photo: Agenkultur |
By looking
at those conditions, a non-profit community organization called Agenkultur has
been established by responding to the urgent needs of kampoong Babakan related education issues. They dedicate
themselves to open non-formal education classes that focus on young people who
drop out of school.
As said by
the founder of the organization as well as local residents, FW Pei "Our
organization, which is engaged in the social, education and culture established
from 2003 has been educating via a specific curriculum of more than 1200
peoples dropping out of school at subdistricts Binong (mainly peoples comes
from Kampoong Babakan) in various age level”.
He added,
Agenkultur was developing non-formal education program into an educational
center with a holistic method with the name "The School of Change".
The school is also offering art education practices.
FW Pei
further stated that he was creating a network between the arts community and intensive
cooperation with any institution by practicing different methods such as
running art project The Learning Wall in collaboration with art community
Jakarta Art Movement (JAM) and invited a number of individuals and groups of street
artists for the project participants.
At the same
time, JAM with a joint art project with Agenkultur is the second project
activity that is part of its long-term art
project called Kampoong Art Attack in Jakarta and surrounding areas since the
end of 2012.
A relaxed discussion between street artists and curator at Agenkultur Photo: Agenkultur |
After nearly
a year participated in a community empowerment via art and social activism in
conflict-prone areas at kampoong Johar Baru, Central Jakarta, JAM has opened
creative classes such as contemporary dance and stencil art supported by the
University of Indonesia, Department of Sociology.
The Learning Wall and Street Art
Collaboration
Artist: GIMS Photo: Agenkultur |
The works on
the wall of kampoong residents also showed pictures of humans, for example, a
particular world scientist with gestures and words that remind and connecting
children with their environment. In addition, there are certain forms of street
art works that it could be a game, make those kids could see then responding it
with fun.
Artist: ROAR Photo: Agenkultur |
Groups and
individual street artists who have participated in the art project such as
ISAD, Propagraphic Movement, RoboWobo, Garis Keras feat. Spik Lala, Rewind Art,
Andi Rharharha, TSAF, JAH, ROAR, GIMS, Shucks Syndicate, Ardome and Sadrax Five
Smile, Kampung Segart, Johar Baru Community School (SKJB), Agenkultur Art
Activist (AAA) have different ways and methods on doing their works between one
and the other. However, they have the same passion: art can help others.
Program
coordinator of JAM, stencil artist and curator for the project The Learning
Wall, Selo Riemulyadi consistently stated that he still kept making an open
approach to socially engaged art practice via street art.
"For
example, we are ready to coordinate groups of street artists in various cities
that applied in problematic kampoongs as kampoong Babakan" said Selo. He
added that street art as part of the artistic expression that is supported by a
collaborative spirit has a more concrete role in society.
Artist: Chita-Chiko, GIMS Photo: Agenkultur |
It can be
described as an attempt to art practice in melting the limits of autonomous art
which means spirit of self-reliance in individual aesthetic expression strongly
held was removed gradually to embrace heteronomous art.
In other
words, the kind of art practices that emphasize the nature and character of the
form of communality that is connected with its social environment.
Artist: Andi Rharharha Photo: Agenkultur |
On one of
its art projects, Oda Projesi rented three rooms in an apartment in the
district of Galata, Istanbul. They held a joint workshop with the kids around
the neighborhood, inviting sculptors to picnics together and also organizing a
children's carnival with a theater group.
Collaborative
work is said by art critics as a kind of
participatory art that makes Oda Projesi even invited to the important world art event
like the Venice Biennale.
If we look
from the perspective of “street art
activists”, soon we will find that they were already freed themselves to
respond to any possibility of their artistic expression on any fields. No
longer carry “the only one of liberation ideologies" that requires big
narratives as a way to control its expression.
Several
years ago, for example, a French street artist Jace did a simple but touching
activities: take a trip to the islands of Madagascar and stayed there for several
months with tribal people Anakao. He did experimental work with local
traditional fishermen with their boats.
Jace refer
to his project as a shared experience and move along to the local residents
with collaborative practices in places in the area which he considers
"untouchable art". This experience later written by Jace in a book.
Artist Robowobo in the fron of his work |
Children in front of the work by Duo Coblon, Propagraphic Movement Photo: Agenkultur |
It was not
really surprising, because the nature of communality in Indonesia's cultural
roots are familiar dubbed in here as Gotong
Royong or mutual help between peoples naturally have been present long time even
before the coming of “ the sacred world of modern art” with individualistic style.
We also have
seen since one last decade individual artists and arts community or artist
collective groups that are geographically responds to the phenomenon of urban
culture in major cities such as Yogyakarta, Bandung and Jakarta do more intense
work by considering their artistic collaborative with its social dimension.
Bambang
Asrini Widjanarko
Chairman
of Jakarta Art Movement (JAM) for the
art project Kampoong Art Attack 2012-2013.
sources:
Interview with resident of kampoong Babakan H.Nadji, subdistrict Binong Information
Centre, Agenkultur, Selo Riemulyadi, FW
Pei, data of Street Art Network: Jakarta,
Bandung and Tangerang. The book Planet of Slum by Mike Davis and data on the concept of participatory and collaborative
art that is downloaded on the internet: Jace, Oda Projesi, Geographic News etc
No comments:
Post a Comment