Thursday, 10 January 2013

Playground Under Jakarta Flyovers





Sekelompok desainer di Jakarta bermufakat membuat sejumlah  tempat bermain untuk anak-anak di kolong jembatan layang. Apakah ini tindakan ilegal?

Dari perspektif hukum memang sudah pasti jawabannya ya, namun dalam pandangan moral dan kemanusiaan jelas tidak sama sekali!

Dari laporan DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) pada 2012,  masyarakat Jakarta yang berpenghasilan rendah menduduki peringkat kedua dari seluruh provinsi di Indonesia yang tidak memiliki rumah. Jumlahnya sekitar 5 juta jiwa.

Peringkat pertama dipegang oleh Jawa Barat, sementara yang ketiga disandang Jawa Timur. Kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta tinggal dengan menyewa rumah atau mengontrak. Yang lainnya, harus menerima nasib hidup di area tidak layak, seperti kolong jembatan dan kawasan kumuh.

Mereka tidak sanggup membeli rumah susun. Daya belinya belum sampai. Di sisi lain, kalah bersaing dengan pembeli yang tujuannya investasi dengan “mengakali” peraturan perundangan pemerintah daerah.

Dari kenyataan tersebut, bagaimana kita berharap anak-anak bisa tumbuh sehat jiwa dan raganya apabila melalui masa kecilnya tinggal  di kolong jembatan?

Dari sanalah peran seni dan desain begitu penting untuk tidak sekedar eksis karena dikatakan artistik, namun sikap untuk berpihak dengan mengedepankan fungsi kemanusiaan bagi khalayak yang tak mampu.

Pada kasus ini, memberi tempat bermain berarti memberi kesempatan anak-anak di bawah kolong jembatan hidup lebih wajar. Bukankah, masa kanak-kanak adalah masa bermain dan bersenang-senang?

Pada akhir 2011, selama berbulan-bulan, para desainer yang menamakan dirinya kelompok Ambitexts: Jogjakarta Designer Consortium's  itu mengadakan riset dan berdiskusi dengan tim Kurator.

Mereka akhirnya membangun tempat bermain di tiga titik di bawah jembatan layang di lokasi yang berbeda di Jakarta, dimana banyak anak kecil dan orang tuanya atau keluarganya tinggal di bawah kolong jembatan.

Karya yang disebut BakDang (Jebakan Kandang) tersebut kemudian  menjadi bagian penting dari pergelaran out door zona seni publik di acara Jakarta Biennale#14, 2011 lalu.

A group of designers in Jakarta have agreed to create a playground for children under the flyover. Is this breaking the law?

From a legal perspective, surely the answer is yes, but in the view of humanity and morality is clearly not at all!

According to a report from the central bureau of  the Association of Indonesian Housing and Developers (Apersi) in 2012 approximately 5 million low-income people in Jakarta have no home.

Jakarta was ranked second of all provinces in Indonesia where people do not have homes. The first rank is held by the province of West Java, while the third carried the province of East Java.

Most low-income people in Jakarta living by renting houses. The others have to accept the fate of living in uninhabitable areas such as under flyovers and slums.

They can not afford to buy a flat. The purchasing power is still low. On the other hand, they are not able to compete with the buyer who has a goal to the investment and violate local laws.

From these facts, how could we expect children to grow both body and soul will be healthier if through their childhoods living under a flyover?

From the last point, the role of art and design is so important to not just exist because it says artistic. But it also is an attitude we are to stand for the function of art to humanity.

In this case, providing a place to play means allowing children to live under a bridge with a more feasible. People say that childhood is a time to play and have fun and they have the right to get it.

At the end of 2011, for months before, the designers who call themselves the Ambitexts: Jogjakarta Designer Consortium's researching and discussing with the team of curators.

They eventually built a playground under an overpass in three-point of different locations in Jakarta, where many children and their parents or their family living under a bridge.

The artwork is called BakDang-Jebak Kandang (The Cage of trap) was then an important part of out door zones of public art in the Jakarta Biennale # 14, 2011.





source: properti.kompas.com
             vivanews.com
             Ambitexts: Jogjakarta Designers Consortium's
             Jakarta Biennale#14, 2011
             SatuLingkar.com
             megapolitan.kompas.com

No comments:

Post a Comment