Monday, 6 May 2013

Youth of Johar Baru and The Art of Movement





Pemuda Johar Baru dan Seni Gerak

10 Pemuda dari kampung Tanah Tinggi dan kampung Rawa di kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat awal Mei lalu, baru saja menuntaskan pentas seni gerak. 

Mereka berkolaborasi dengan fasilitatornya, penari dan koreografer Yola Yulfianti dan Rizki Arlin Putri di ajang Dance Film Addiction#2, 2013.

Kampung Tanah Tinggi, pusat latihan para pemuda tersebut untuk meyiapkan pentas, setiap hari Selasa, selama enam bulan berselang adalah kelas kreatif di sebuah balai RW setempat. Cilek (28) dan teman-temannya seperti Otong (30), Gagak (27), Rizky(23), atau Rizal (24) dll mengaku menikmati sesi-sesi latihan.

“Kita senang belajar seni, karena bisa mengungkapkan ide dan perasaan-perasaan kita” ujar Cilek pemuda putus sekolah yang harus membantu orang tuanya mencari nafkah dengan berjualan gado-gado. Ia didapuk teman-temannya menjadi ketua kelas di komunitas yang disebut Sapu-Lidi.  


Dua fasilitator sekolah Komunitas Pemuda Kampung Johar Baru, Putri (IKJ) dan Debby (UI) pose bersama dengan seluruh partisipan seusai pentas di  Dance Film Addiction#2, 1 Mei 2013
Foto: Umar Setyadi Q

Kampung tanah Tinggi, juga tiga kelurahan lain di kecamatan Johar Baru seperti Galur, Kampung Rawa dan Johar Baru sebenarnya sebuah wilayah rawan konflik horisontal, yakni tawuran antar warga. 

Akhir-akhir ini (sejak awal 2013), wilayah seluas 237,70 hektar dengan jumlah hampir 140.000 orang yang dianggap salah satu pemukiman dengan kepadatan yang tertinggi di Asia ini, mendapat beban baru lagi: rawan kebakaran. Sampai-sampai Gubernur Joko Wi mencetuskan program Kampung Deret sebagai langkah awal untuk pembenahan kawasan kumuh di Tanah Tinggi.  

Menurut Jerome Tadie, peneliti asal Perancis dengan bukunya Les territories de la violence a Jakarta, pemukiman di Tanah Tinggi adalah tempat “paling tepat” memahami budaya kekerasan di kota metropolis seperti Jakarta. Bahkan, mungkin jauh sebelum berdirinya Republik ini. 

Tadee menengarai karakter kekerasan para penghuninya di area slum—kumuh dan miskin, adalah warisan semenjak jaman Hindia Belanda yang dari generasi ke generasi mencipta para jawara. Tadee mensurvei tentang wilayah kekerasan di Jakarta dengan tiga kategori, membahas geografi kerawanan, wilayah penindasan-politik, serta premanisme.

Cilek dan kawan-kawannya dan pemuda seusia maupun dibawahnya harus menghadapi kondisi buruk tersebut, meski tawuran semenjak akhir 2012 frekuensinya mulai berkurang. 

Dulunya, perkelahian jalanan  terjadi saban hari. Asian Trend Monitoring dari NUS (National University of Singapore) tahun 2012 melansir penelitiannya bahwa semuanya bermula dari permasalahan urbanisasi yang tidak terkontrol yang mencipta pengangguran, masyarakat menjadi punya banyak waktu luang dan mengakibatkan frustasi. 

Pada saatnya, memicu kriminalitas, ditambah ruang yang padat merangsang sikap agresif untuk tindak kekerasan, menyulut ketakutan-kepanikan yang melumpuhkan kegiatan ekonomi. Ujung-ujungnya memperburuk kondisi masyarakat yang sudah miskin parah. Yang memprihatinkan juga, anak-anak mudanya mulai terimbas budaya kekerasan.

Bagan, hasil survei yang dilakukan oleh Asian Trends Monitoring dari NUS ( National University of Singapore) pada 2012 tentang wilayah kekerasan dan penyebabnya di Jakarta


Problem “penyakit masyarakat” di wilayah ini, sejak puluhan tahun silam  berulang kali mengusik para peneliti, seperti ahli geografi, ahli kriminalitas, pihak kepolisian dan pemerintah pusat untuk urun-rembug membantu menyelesaikan persoalan. Dari pendekatan gaya ‘intervensi’ infrastruktur fisik, bantuan langsung, atau gaya yang sekarang sedang ngetren dan seksi, yakni: community engagement-development.

Praktik pendekatan dan pemberdayaan masyarakat via komunitas yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah dan pemerintah atau percampuran keduanya yang punya target pemberdayaan di lapisan paling bawah masyarakat. 

Mengutip sosiolog UI (Universitas Indonesia) Profesor Paulus Wirutomo, yang kebetulan tinggal di Tanah Tinggi, bahwa harus ada pendekatan khusus struktural dan budaya di masyarakat  dengan kegiatan yang terintegrasi. Manifestasinya adalah orientasi kegiatan edukatif secara informal dengan target mereka yang dianggap under class dan tereksklusi (terbuang/diasingkan). 
Masyarakat tanpa kelas, yang resisten terhadap pendekatan formil, seperti kepolisian dan para pemimpin lokal (RT/RW atau Lurah). 

Mereka sudah semestinya diberdayakan untuk mengekskalasi kehidupan ke tingkat lebih bagus dan mampu mengindentifikasi hidup lebih sehat. Sederhananya, memberi harapan lewat jalur pendidikan dengan fokus utama para pemuda yang rentan gaya hidup kekerasan. Dan ini bukan perkara yang mudah untuk dipraktikkan.

Memerlukan perjuangan yang panjang dan meletihkan, bahkan mungkin saja terantuk berbagai masalah kompleks, seperti: psikologi masyarakat yang terlanjur pesimistik, melihat pendidikan hanya menghabiskan waktu tanpa memberi kontribusi yang kongkrit,  struktur di dalam masyarakat yang tidak mendukung,  sikap politik dari pihak ke tiga yang mempertahankan ketidak-amanan kampung untuk keuntungan sesaat: penggalangan masa politik atau keuntungan ekonomi. Kemudian, ketahanan energi para relawan sekolah komunitas yang dituntut selalu memiliki kreatifitas tanpa henti untuk menjadi mitra mereka secara terus-menerus.


Sebuah kelas sesi seni gerak di sekolah komunitas Johar Baru pada Maret 2013
Foto: Yola Yulfianti



Harapan via Seni-Aktivisme Anyar dan Seni Gerak

Seni-aktivisme, sebuah konsep wacana dan praktik berkesenian yang kerap dihubungkan dengan radikalisme pemikiran dan tindakan, barangkali semenjak sepuluh tahun terakhir mulai berubah. Atau menemukan paradigma anyar, terutama dalam bentuk dan jenis serta strategi yang diterapkan di masyarakat.

Dulunya, seni aktivisme, terutama di tanah air, sarat dengan gagasan-gagasan politik besar pada masa rezim yang represif (Orde Baru), misalnya agenda-agenda: penolakan militerisme, pro-demokratisasi dan penentangan ideologi tertentu. 

Kemudian, di separoh penjuru jagad, kita sejak lama menemu jenis seni dan aktivisme yang  meski berkonteks politis-sosial lebih dekat dengan pemikiran di the pedagogy of the oppressednya milik Paulo Friere. Yakni, seni yang beroperasi sebagai produk budaya yang membebaskan manusia via pendidikan dan bukan sebagai bentuk radikalisme seni. 

Mampu menjadi alat bernegosiasi dan hak tawar non kekerasan dengan kelas-kelas yang menghegemoni produk seni yang dikatakan elit dan sangat eksklusif. Seni idealnya dimiliki oleh kelas-kelas yang dikatakan Friere “tertindas”.  Jenis seni yang di Indonesia jamak dikenal dengan seni penyadaran.

Jenis seni aktivisme yang paling mutakhir muncul, mengambil semangat Friere namun sama sekali tidak menghilangkan individualisme berkarya dan pencapaian estetika fisik yang maksimal dari para seniman. Yang mungkin Friere dengan "seni penyadarannya" luput menganalisisnya.  

Karena terkungkung pada subyek-obyek dalam penciptaan ( masyarakat yang “tertindaslah” yang menjadi subyek utama, tak lagi seniman) dan memang konsentrasi Friere pada hasil produk kebudayaan secara keseluruhan, bukan hanya seni saja.

Sebuah kelas sesi seni gerak di sekolah komunitas Johar Baru pada Desember 2012 di balai RW kampung Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat
Foto: Budy Nogroho

Teknologi komunikasi dan media membantu dalam transformasi jenis seni-aktivisme baru,  dan metode produksi seni hari ini menampakkan wajah bentuknya yang majemuk. Diberbagai negara miskin yang bermasalah, seperti perang-saudara, perupa street art seperti JR dari Perancis menempelkan karya "paste-fotografinya" yang bagus penggarapannya di tembok-tembok kota. 

Sementara duo perupa dari Belanda Haas & Hahn di Proyek Favela Painting Brazil menggubah wilayah kumuh di Rio de Janeiro menjadi benar-benar cantik secara visual. Sementara, di tanah air HONF (House of Natural Fiber) dengan seni-aktivisme ala mereka, membuat tutor penyulingan air agar layak konsumsi di masyarakat sekitar sungai yang tercemar oleh erupsi gunung Merapi di Jogjakarta. Tapi, HONF mampu juga menampilkan instalasi fisik yang apik di museum internasional seperti di New Museum, New York, ajang Jakarta Biennale 2011 lalu atau di galeri-galeri.

Singkatnya, seni aktivisme "model-baru" menjadi berparas dua atau mungkin lebih. Di satu sisi ada pada konsep Frierian dan pada sisi lain ia menjadi semacam nukleus berkarya para seniman. Jenis seni-aktivisme anyar tak lagi mudah didefinisikan, yang telah berkelindan dengan konsep-konsep lain seperti environmentalisme, seni berkelanjutan, seni pengorganisasian komunitas, seni partisipatoris atau bahkan yang disebut seni yang mirip perilaku investigasi jurnalistik.

Pada Oktober 2012, Jakarta Art Movement (JAM) sebuah komunitas nirlaba yang terdiri dari individu-individu kreatif lintas disipliner dan komunitas-komunitas seni mengenalkan misinya bahwa seni selayaknya lebih dekat dengan kerja artistik di masyarakat kampung Jakarta.

Konsep seni yang seperti itulah yang diterapkan JAM lewat proyek seni yang dinamai Kampoong Art Attack, yakni seni yang menyerbu (dalam perspektif positif) ke kampung-kampung di Jakarta. Dalam kesempatan ini, JAM bersama komunitas seni-gerak dan tari kontemporer IDE mobile dance lab menyusun beberapa strategi dan ancangan untuk mengisi kelas-kelas kreatif di sekolah komunitas Johar Baru yang diinisiasi oleh departemen Sosiologi UI.


Sebuah kelas sesi seni gerak di sekolah komunitas Johar Baru pada Februari 2013 dengan memakai properti balon tiup
Foto: Selo Riemulyadi 

Kelompok-kelompok pemuda di kampung bertetangga di Tanah Tinggi, seperti komunitas Sapu Lidi dan komunitas Belakang di Kramat Jaya, atau komunitas Gang Buntu dll (usia 15-30 tahun) segera tertarik dengan kelas kreatif dan berkunjung di sekolah informal, tiap Senin, Selasa dan Jumat. 

Tak hanya seni tari kontemporer, JAM juga menawarkan kelas kreatif untuk seni stencil art, grafitti dan mural.  Organisasi lain, mengajarkan kreatifitas di bidang seni musik, untuk sesi kelas musik. Sedangkan pihak UI, menggulirkan kejar paket C, yakni sekolah informal untuk mereka yang putus sekolah setingkat SMU.

Tiap seminggu dua kali, selama enam bulan (sejak Oktober/ November 2012 - April 2013) JAM mengisi kelas-kelas yang  tak lagi mengutamakan prinsip-prinsip estetika yang di akademi seni diajarkan secara tegas dengan standar-standar jelas. Sementara, sekolah komunitas, menjadi sebuah laboratorium seni baru. 

Kemungkinan-kemungkinan tak terduga bahkan memperkaya proses bentuk-bentuk seni yang anyar.  Seni menjadi sebuah kerja, tepatnya sebuah kata kerja (verb), bukan lagi kata benda (noun), sebagai sebuah hasil. Seni menjadi hidup dan berjalan di masyarakat, beraktifitas di denyut hidup jantung warga kampung. Tidak berhenti menjadi obyek fisik (benda) saja atau artefak mati, kemudian dikagumi habis-habisan.

Sebuah proses bagi pengajar dan yang diajar tentu mengalami pasang-surut, terutama masalah emosional-psikologis maupun teknis tak terelakkan dalam sebuah masyarakat miskin yang terbebani banyak masalah. 

Yang dalam beberapa segi melumpuhkan kesempatan untuk proses ajar-mengajar, namun tidak untuk semangat dan sebuah harapan. Karena komitmen telah disepakati dan rasa percaya antar fasilitator/pengajar atau seniman dengan pemuda kampung Johar Baru yang sudah dan sedang diuji terus-menerus.

Kelas-kelas informal sekolah komunitas tetap ditegakkan, dengan target proses dialog terus-menerus, akhirnya dimunculkan rencana pementasan pada 1 Mei 2013 dengan menjadi penampil khusus bagi hajatan IDE dance mobile lab, yakni ajang kedua acara Dance Film Addiction#2.

Dengan demikian, pemuda kampung Johar Baru bisa menelaah kembali sikap hidup-positif mereka sendiri, terutama menghadapi realitas kampungnya yang pengap, padat, “terisolir” dengan segudang masalah. Ada sebuah transformasi, identitas anyar untuk bernegosisasi dengan lingkungan mereka nantinya—setelah pementasan. Bahwa, mereka mengenal seni sebagai alat ekspresi diri, dan terhargai sebagai manusia utuh.  


Pentas Pemuda Johar di gedung Tan Ek Tjoan, Cikini raya, Jakarta Pusat pada ajang IDE Dance Film Addiction #2
Foto: Muniroh/SH

Para pengajar, sebaliknya, menemukan berbagai vocabulary gerak baru di seni tari disana, dari pemuda-pemuda kampung. Sebuah kekayaan inspirasi, memprovokasi imajinasi estetis mereka secara individu dan menjadi lahan berkarya untuk memaksimalisasi capaian fisik dan gerak, berupa pentas. 

Fasilitator, memang seringkali, menemukan hal-hal yang mengagumkan: bagaimana para pemuda ini dengan tubuhnya secara refleks, seolah selalu mencium tanda bahaya, dan berani untuk bergerak lincah dan gesit?  Bagaimana pula mereka bisa dengan mudahnya berlari dan membentuk formasi kelompok dan gerak yang “rawan cedera”, seperti yang diarahkan oleh fasilitatornya dengan tanpa pretensi apapun?

Dalam penampilan, Yola dan Putri, fasilitator utama mereka, separuh menjadi koreografer, separuh menjadi kawan karib. Yola dan Putri bisa menjadi seniman yang handal sekaligus aktivis. 

Mereka berbagi rasa percaya diri, utamanya sikap seni yang bisa menjadi ajang reflektor dengan masalah riil yang dihadapi dalam kehidupan keseharian mereka di kampung Johar Baru. Akar kehidupan yang dipentaskan, yang mungkin semacam “altar pemurnian diri” bagi diri pemuda kampung tersebut.    
   
Konsep seni-aktivisme, pada akhirnya, secara politis sekaligus estetis  mampu bekerja dan menjadi bahan bakar mengeja kembali hakikat seni dan kontribusinya bagi budaya kontemporer yang kompleks, di Jakarta, terutama di wilayah rawan konflik seperti Johar Baru. 

Penampilan pemudanya dan fasilitatornya di IDE mobile dance lab, Yola, Putri, Rica dan lain-lain selama enam bulan berjalan, kembali menusuk kesadaran kita bahwa proyek seni ini belum tuntas, masih banyak tugas yang lebih keras ditempa, menjadi kawan sekaligus “kawah kreatiftas” bersama.

Bambang Asrini Widjanarko


Ketua Jakarta Art Movement (JAM) untuk proyek seni Kampoong Art Attack 2012-2013.

http://kampoongartattack.blogspot.com, http://www.facebook.com/jartmov

Artikel ini ditulis ulang dari siaran pers untuk penampilan khusus pemuda Johar Baru di ajang IDE dance film addiction#2 dari IDE mobile dance lab 2013





Youth of Johar Baru and The Art of Motion


In early May, 10 young people from Kampoong Tanah Tinggi and Kampoong Rawa at the subdistrict of Johar Baru, Central Jakarta has been successfully staged a contemporary dance or art of motion as a special performer. 

It was a collaborative work with their facilitator, choreographer and dancer Yola Yulfianti and Rizki Arlin Putri on Dance Film Addiction # 2, 2013.

Faces of youths of  Kampoong Johar Baru
Photo by Ario Hendrasto
The youth training center for six months on preparing the show was a modest space in a local community center at Kampoong Tanah Tinggi. Cilek (28) and his friends like Otong (30), Gagak  (27), Rizky (23) and their other friends said that they enjoyed the training sessions.

"We are pleased to learn the arts, because it was expressing our ideas and feelings" said Cilek who have dropped out of school and had to help his parents as a roadside seller. His friends ask Cilek to be leader of their community, Sapu-Lidi (coconut leaves brooms).

Kampoong Tanah Tinggi, also three other kampoongs at the subdistrict Johar Baru such as Kampoong Rawa, Kampoong Galur, Kampoong Johar Baru is actually a horizontal conflict-prone areas or street fights between people. In Indonesia often referred to as tawuran.

Land area of 237.70 hectares with a total of nearly 140,000 people which are considered one of the highest residential densities in Asia recently have gained a new problem: vulnerable to fire. Jakarta Governor, Joko Wi has plans to do a project called Kampung Deret program as a first step to revamping slum in Kampoong Tanah Tinggi.

According to Jerome Tadie, researchers from France on his book Les territories de la violence a Jakarta, Tanah Tinggi is a place that is "most appropriate" to understand the culture of violence in the city of Jakarta. In fact, it may be long before the Republic of Indonesia's independence.


Street brawls at kampoong's area
photo by Kompas
Tadie suspect that the character of violence of slum dwellers in this area is bad legacy of the era of Dutch occupation resulted generation to generation of leader of the gang. Tadie surveys about violence in Jakarta was in three categories: vulnerability geography, territory and political repression, and the thuggery.

Cilek and his friends and young people under their age have to face such bad condition a whole life.  The frequency of street brawls since the end of 2012 began to decline dramatically, but whoever does not guarantee that the street brawl will never happen again. Because it could be a latent danger that could erupt again at any time.

The fighting, formerly has been going on every day. Asian Trends Monitoring, a journal of NUS (National University of Singapore) in 2012 launched the research that everything is started from the problem of uncontrolled urbanization which created unemployment, people have plenty of time to spare and caused frustration.

At one point, due to the dense space, it stimulate an aggressive behavior of violence, fear fueled panic that paralyzed economic activity. In the end, it worsen the already poor conditions and the youth affected by the culture of violence.

The Chart on Journal of  Asian Trends Monitoring 2012 by NUS ( National University of Singapore)
The researchers in the field of social pathologies such as geography experts, experts in the field of criminology, sociologists and also central government repeatedly since tens of years ago were trying to find the most appropriate solution.

They used variety of approaches, ranging from the style of direct intervention in the form of financial aid, backing for physical infrastructure or community development based on citizens participatory program. 

A practical approach to society made by non-governmental organizations and the government body or a mixture of both that has a target of empowerment in the bottom layer of society.

According to sociologist and professor of the University of Indonesia (UI) Paulus Wirutomo, who lives at Kampoong Tanah Tinggi that there are should be a special structural and cultural approaches in an integrated activities.

Manifestations of its actions is informal education on targeting people who are considered under class and excluded. People who are considered to have no class on society of kampoong which is resistant to formal approaches, such as the police and local formal leaders.

In summary, it is an effort to provide a hope through education to the primary focus of the youth affected by violent lifestyle. And this is not an easy matter to put into practice. Because it will face complex issues, such as: psychology of kampoong residents are already pessimistic. According to them, education is  just spending time without giving a concrete contribution.

Structures in society that do not support and also the political attitudes of third parties who maintain insecurity at kampoongs for a quick profit: economic gain or collecting mass for the interest of political party.


A Hope trough New Art-Activism and Art of Motion

An art-activism is a concept of discourse and art practices that are often associated with the radicalism of thought and action that probably since the last ten years began to change. Or it find a new paradigm, especially in the form and type of strategies which is has been practiced in our society.

The concept of art-activism, in the past,  especially in Indonesia, was burdened with huge political ideas during the repressive regime (1970's-1990's of New Order), such as agendas: rejection of militarism, pro-democracy and opposition to a particular ideology.


Class of Contemporary Dance 1 by Yola Yulfianti and Rizki Arlin Putri
Photo by Selo Riemulyadi

All over the world, we long ago discovered the type of art-activism that includes context with the social and political discourse but closer to Paulo Friere’s pedagogy of the oppressed.

It is an art practice and discourse that operates as a cultural product that frees people via education and not as a form of artistic radicalism.

These type of art that can be a tool to negotiate with the bargaining power of non-violence for the rights of the lower classes with an upscale community that has done the hegemony of the art product that says elite and exclusive. 


Class of Contemporary Dance 2 by Rica Darmawan
Photo by Ario Hedrasto
Art ideally as said by Friere should be able to be produced also by the people who "oppressed". In Indonesia, we know its kind of art called the art of awareness (seni penyadaran).

The type of art-activism that most advanced finally appeared on the last two decades. It took the spirit of Friere’s concept but did not eliminate individualism in the work of art  and the achievement of maximum physical aesthetics of the artists which may, Friere with his pedagogy of the opressed forgot to analyze.

Friere shackled to the creation between the subject-object dualism. People who "oppressed" which is became the main subject, thus artists no longer have the power to create as “an independent entity”.

As we know, the concentration of Friere’s concept more on the results of culture as a whole product in society not just art.

The technologies of communications and cyber media have helped in the transformation of a new kind of art-activism, and methods of art production today revealed the face of a plural form. 

In troubled countries and experienced civil war, such as in the Middle East or Africa, street art artist like JR from France has pasted his "photography" with a nice artistic touch on the city walls. Meanwhile, the Dutch artist duo Haas & Hahn at the Favela Painting Project have compose slum area in Rio de Janeiro, Brazil became really gorgeous visually.

What about artists in Indonesia? A group of new media artists HONF (House of Natural Fiber) with their own style of art-activism have made a distilled water tutorial to the public on a polluted river by the eruption of Mount Merapi in Yogyakarta, Central of Java.  

At the same time, HONF featuring a nice art installations in international museums such as the New Museum, New York at the event of New Museum Triennale 2012 or such as Jakarta Biennale 2011 and on commercial galleries

In short, the new model of arts activism has become a double-faced or maybe more. On one side there is the spirit of the Frierian's concept and on the other it became a sort of nucleus artists work and it may be enriched with other types.

New kind of art-activism work is no longer easily defined, which has been intertwined with other concepts such as art-environmentalism, sustainable art, community based art, socially engaged art, participatory arts or even the so-called art-like behavior of investigative journalism.

Poster by IDE mobile dance lab on Dance film Adicction#2, 2013
In October 2012, Jakarta Art Movement (JAM) a non-profit community comprised of creative individuals and cross-disciplinary arts communities began to introduce its new mission that art should be close to the artistic work in kampoong society at the city of Jakarta.

On these occasion, the contemporary dance community IDE mobile dance lab together  with JAM formulate some strategies to fill the creative classes in an informal school called community schools of Johar Baru, initiated by University of Indonesia, Department of Sociology.

Youth groups in neighboring kampoong Tanah Tinggi, such as Sapu-Lidi community,  Belakang  community at Kramat Jaya street, or others community (aged 15-30 years) were immediately intrigued by the creative class and they started visiting informal schools on every Monday, Tuesday and Friday.

Not only contemporary dance and the art of motion, JAM also offers creative classes for stencil art, graffiti and murals. Another organization, teaches creativity in music, for music class sessions. While the UI, running Packet C, which is a class for senior high school drop-outs.

Twice each week for six months (since October / November 2012 - April 2013) JAM fill classes that no longer give priority to aesthetic principles that are taught in the art academy with clear standards. The new community of informal school of kampoong Johar Baru finally become a new art lab.

Unforeseen possibilities enriching even the art of motion and other art forms of contemporary dance that are new. A work of art is a verb, not a noun anymore, as a result. Art come alive and walk in society, not cease to be a physical object or a human body or only dead artifacts.

A process for the facilitator / artist and participant schools certainly have ups and downs, especially the emotional-psychological problems is unavoidable in a lot of poor people. It was in some ways a chance to cripple teaching-learning process, but not for the spirit and a hope. Because the commitments and confidence between the facilitator or artists with the youth of kampoong Johar Baru who have been and are being tested constantly.

Special Performer 1 by youth of Kampoong Johar on Dance Film Addiction#2, 2013
Photo by Umar Setyadi Q
Informal classes should be continued with a target of ongoing dialogue process, eventually raised plan of staging on May 1 with a special performer for IDE mobile dance lab program on  Dance Film Addiction # 2, 2013. 


Thus, the youth of Johar Baru could review the positive attitude of their own life, particularly their kampoongs to face the reality that is stuffy, crowded, "isolated" with a lot of problems. Hoping that there is a transformation for a new identity to negotiate with their environment later--after staging as self-expression.

The facilitator, on the contrary, found a variety of new vocabulary of dance movement from the youth of Kampoong. A wealth of imagination on provoking artists to maximize their physical performance and motion.


The Facilitators often find that amazing things are happen: how these young men with their reflexively body, as always smell the danger signs and dare to move swiftly and quickly? How well they can easily run and formed a group with the possible movements on injury prone without any pretension?

Special Performer 2 by youth of  Kampoong Johar on Dance Film Addiction#2, 2013
Photo by Umar Setyadi Q
In the preparation process of staging, Yola and Putri as the main facilitator, acted became a choreographer and close friend to these young people. Yola and Putri can be an artist and activist as well. 

The concept of art-activism, ultimately, politically as well as aesthetically pleasing and be able to work back to spell the fuel nature of art and its contribution to contemporary culture in Jakarta, especially in conflict-prone areas such as kampoong Johar Baru.

The youth and their facilitators on IDE mobile dance lab with Yola, Putri, Rica and others for six months running immediately reminds us that the art project of  Kampoong Art Attack by JAM unfinished. There is still time for continuing the creative classes and became friend  for youths of  kampoong Johar Baru.


Bambang Asrini Widjanarko

Chairman of Jakarta Art Movement (JAM) for the project of Kampoong Art Attack 2012-2013



http://kampoongartattack.blogspot.com, http://www.facebook.com/jartmov
email: kampoongartattack@gmail.com



3 comments:

  1. Thank you for sharing this inspiring and very worthwhile project. I look forward to learning more about it and know it will continue to be successful and improve the lives of all who are touched by it. Julie

    ReplyDelete
  2. Dear Julie

    Thank you for giving your time to look and have given positive comments on our blog.

    We're working on making this art project still goes on and hoping there are more volunteers or artists who could participate as facilitators in classes at an informal school of kampoong Johar Baru.

    ReplyDelete
  3. I got a good method inside the program how to keep youth people can learning others experiences in between chaotic city in Jakarta. Great guys!! Lovely movement you did!!
    Angki Pu

    ReplyDelete