Sunday 3 July 2016

Dari Jalanan Bali Mester untuk Toleransi



    karya: agi gozali foto: fendi siregar

Liputan Media:

Street art sengaja memisahkan diri dari ruang galeri bukan tanpa tujuan; ia ingin membicarakan isu-isu sosial secara jelas dan langsung. Meski kerap dikritik oleh seniman galeri karena, dalam konteks seni, pesan yang disampaikan terlalu jelas dan sarat propaganda, seniman-seniman street art bersikeras bahwa motif produksi artistik mereka tepat dikemas dengan cara tersebut. Pasalnya, pengunjung mereka bukan cuma orang-orang melek seni yang sengaja datang ke galeri, melainkan masyarakat biasa yang berseliweran di situs tempat kesenian itu berada. Ini yang membuat street art bisa bicara dengan jangkauan lebih luas dengan lebih lugas.

Ketika Jakarta Art Movement (JAM), Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI),  dan beberapa kelompok lain mengadakan proyek “Interaksi@toleransi” di Kampung Bali Mester, Jakarta Timur, 5 Juni silam, prinsip ini yang dipegang.
“Lima bulan belakangan, isu ini sudah ngaco, terjadi di mana-mana, tapi seniman-seniman tetap saja asyik memikirkan dirinya sendiri,” ujar Bambang Asrini Widjanarko, salah seorang penggagas proyek ini. “Karena itu saya mengajak seniman-seniman yang namanya belum besar dan memakai medium street art ini agar pesannya bisa ‘hajar langsung’.”

Menurut data yang dilansir Tirto.id, sepanjang tahun 2015-2016, setidaknya kasus intoleransi tercatat terjadi di enam kota Indonesia. Bulan Februari 2015, di Bukittinggi, terjadi penggeledahan terhadap pertemuan korban 1965 yang diadakan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan. Hal yang sama terjadi di Salatiga enam bulan kemudian, lalu disusul pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival pada bulan Oktober dan pelarangan pembacaan naskah drama 50 Tahun Memori 1965 di Jakarta pada bulan Desember. Ditambah pula insiden serupa terhadap diskusi dan pemutaran film Senyap di Yogyakarta dan Monolog Tan Malaka serta aksi pantomim Wanggi Hoediyanto pada Hari Tubuh Internasional di Bandung, Maret 2016. Deret panjang tersebut masih ditambah kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini, seperti pemberangusan buku-buku yang dianggap menyebar paham komunisme.

Ini yang direspons oleh 25 seniman street art Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta lewat gambar di empat titik kampung Bali Mester dan pertunjukan tari oleh Himpunan Mahasiswa Tari IKJ. Selo Rieyadi, koordinator seniman street art yang terlibat dalam proyek ini mengatakan bahwa meski masih ada yang mengandalkan spontanitas, semua seniman yang terlibat harus melewati proses presentasi dan diskusi sebelum menuang kreativitas. “Bukan presentasi yang kaku, tapi kami tetap membicarakan bagaimana menjaga agar karya tetap masuk dengan tema.”
Hasilnya, teks-teks dan simbol khas street art pada umumnya berhasil melesat tepat ke sasaran. Misalnya, dalam sebuah karya dengan simbol jari “oke” dan pistol berlatar merah, kita membaca sebuah teks yang idealnya ada di kepala pelaku-pelaku intoleransi; “I DON’T AGREE WITH WHAT YOU HAVE TO SAY, BUT I’LL DEFEND TO THE DEATH YOUR RIGHT TO SAY IT”; atau kalimat kesohor Heinrich Heine “Where they have burned books, they will end in burning human beings” di samping, tentu saja, potret diri Gus Dur.

Selain gambar, keberadaan tari kontemporer dalam proyek ini juga menarik. Tari yang sudah meluaskan diri dari sekadar plastisitas tubuh ke relasi tubuh dan isu-isu kemanusiaan ini ikut serta karena menurut Bambang, tubuh merupakan sasaran paling rentan intoleransi. “Bajumu, gaya rambutmu, tato di badanmu, semua menjadi hal yang mengundang persepsi orang lain dan dari sanalah intoleransi sangat mungkin muncul.”
Yang paling menarik adalah keterlibatan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia dalam “Interaksi@toleransi”. Komunitas ini sudah lama memakai seni sebagai media terapi penderita skizofrenia, sehingga mereka yang ada di dalamnya sudah dekat dengan kesenian. “Ketika mereka sedang kumat, fungsi sehari-hari mereka lumpuh. Hal yang paling mungkin dilakukan itu berkesenian,” ujar Bagus Utomo, ketua KPSI. Lewat seni, keliaran yang ada di pikiran para penderita skizofrenia bisa dengan fleksibel dan akhirnya menjadi katarsis bagi diri mereka sendiri.

Sebetulnya, pendekatan ini sudah bukan hal baru. Di beberapa negara, hasil karya seni orang-orang dengan gangguan mental diberi tempat yang layak. Dax Center di Australia atau Collection de l’art burt di Swiss adalah dua contohnya. Barangkali jika diwadahi dengan tepat, mereka yang dirawat di KPSI bisa menjadi Aloïse Corbaz berikutnya atau membuat Dubuffet tersenyum makin lebar di kuburannya. Tentu saja itu utopis sebab penderita skizofrenia, alih-alih seniman, lebih dekat pada cap orang gila. Itulah yang menjadi alasan keterlibatan KPSI di proyek ini. “Mereka juga mengalami dikriminasi, padahal mereka juga bisa berkontribusi untuk lingkungan,” ujar Bagus.

Dengan kuatnya konsep penyelenggaraan, persiapan “Interaksi@toleransi” memang tidak kalah dengan pameran di galeri-galeri mewah. Bahkan, pemilihan Kampung Bali Mester sebagai lokasi memiliki hubungan historis dengan masalah toleransi.
Nama kampung ini diambil dari nama penginjil dari Pulau Banda yang membeli tanah di Jatinegara, Meester Cornelis. Jauh sebelum Batavia berdiri, pendatang-pendatang dari Bali singgah di tempat ini. Kemudian, bersama etnis Tionghoa, Jawa, dan Betawi, mereka lambat laun melahirkan akulturasi budaya yang hampir tidak pernah berkonflik. Sampai sekarang bisa ditemukan vihara banyak tersebar, bersama gereja-gereja dan masjid-masjid. “Bali Mester adalah platform kemajemukan,” ujar Bambang.
Sayangnya, ada saja yang tidak membiarkan kata ‘Bali Mester’ pada ucapan Bambang diganti dengan ‘Indonesia’. Dengan segala keterbatasannya, “Interaksi@toleransi” mengambil porsi kecil untuk melawan orang-orang macam itu. Bambang sendiri mengakui kekurangan-kekurangan yang ada pada proyek ini, seperti kualitas visual para seniman yang harus dimaklumi berada di bawah level seniman besar dan kesementaraan gambar-gambar yang sudah dibuat. “Nanti gambar-gambar ini juga pasti dihapus,” ujar kurator Jakarta Biennale 2011 ini. Tentu yang terbaik adalah ketika gambar itu dihapus konflik intoleransi juga terhapus. Tapi tampaknya tidak akan semulus itu jalannya dan oleh sebab itu menyebarkan paham toleransi menjadi langkah perlawanan yang bijak, yang panjang.



    karya: egauseless foto: egauseless



sumber: http://www.sarasvati.co.id/acara-seni/06/dari-jalanan-bali-mester-untuk-toleransi/

No comments:

Post a Comment