Wednesday 24 October 2012

Stopping the violence in Jakarta’s slums



Instansi  pemerintah kota, tentu saja dalam hal ini kota Jakarta dan organisasi lain yang peduli dengan pengentasan kemiskinan biasanya selalu memperhatikan pada masalah pembangunan fisik dan materi saja. Misalnya,  kualitas pelayanan air dan sanitasi, perawatan kesehatan, dan akses ekonomi. Namun, ada beberapa masalah sosial yang menjadi beban serius bagi masyarakat di wilayah kumuh dan miskin belum benar-benar diperhatikan. Salah satu masalah tersebut adalah: kekerasan.


Wilayah yang miskin dan kumuh menjadi saksi perkelahian masal jalanan yang terjadi setiap hari. Perkelahian jalanan yang kita kenal dengan istilah tawuran, meruyak diantara orang-orang yang berusia dewasa utamanya. Yang memprihatinkan remaja juga mulai ikut-ikutan.

 Tawuran terjadi karena banyak sebab, tapi selalu mengakibatkan korban manusia yang terluka parah, kerusakan harta benda, munculnya kepanikan dan rasa ketidakamanan di dalam lingkungan mereka. Tak usah dijelaskan lagi bahwa memang membuat semakin buruk kualitas hidup di wilayah kumuh dan miskin.

Fenomena semacam ini tidak lagi dianggap unik di daerah miskin dan kumuh seperti di Jakarta. Kita tahu, di seluruh dunia, kumuh umumnya dekat dengan tingginya kasus kejahatan,  eksisnya geng-geng, dan kekerasan. Sebagai contoh, kekerasan antar geng jalanan dan kelompok anarkis (biasanya aksi main hakim sendiri) di Nairobi, Kenya, telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, meski pemerintah bertindak keras pada mereka.

Di wilayah distrik kumuh dan miskin Favelas di Brasil juga tenar karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan. Jadi, sudah jelas bahwa masalah ini memerlukan perhatian lebih mendalam lagi. Motif kekerasan di Jakarta menurut Profesor Paulus Wirutomo seorang sosiolog dari Universitas Indonesia dan kebetulan ia tinggal di Tanah Tinggi -- di dekat wilayah yang paling terkenal sering terjadi tawuran antar kampung di Jakarta--- tawuran masal kerap berulang, bahkan  terkadang beberapa kali terjadi dalam satu hari.



Paulus, menyaksikan sendiri kekerasan ini bertahun-tahun lamanya. Ia sekarang mendokumentasikan apa saja yang menjadi konteks sosial dari tawuran tersebut dalam upayanya untuk menemukan solusi. Ia menyebut bahwa salah satu penyebab utama kekerasan ini adalah karena orang kampung frustrasi dengan keadaan lingkungan dimana mereka hidup dan penghasilan rendah.

Rasa frustrasi ini membangun sikap agresif, membuat masyarakat kampung  sangat mudah menimbulkan peristiwa tawuran yang dipicu oleh beberapa alasan. Bisa saja masalah dendam pribadi, sengketa teritorial (perebutan hak lahan-tanah), persaingan antar geng, atau karena provokasi bentuk lainnya.

Orang kampung hanya mencari cara untuk menyalurkan rasa frustrasi dan agresinya. Faktor lain, bagi Paulus adalah malas dan menganggur. Sebagian besar partisipan tawuran menganggur dan memang tidak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan pada siang hari. Tentu saja, hal tersebut  meningkatkan kemungkinan bahwa orang akan bergabung dengan tawuran dan mencipta kekacauan-kekacauan sesudahnya.

Dari pengalaman negara lain, sebagai contoh, menurut sosiolog seperti Robert Hagedorn, kekerasan menampakkan parasnya segera setelah memburuknya kondisi ekonomi dan menyebabkan pengangguran yang hebat. Terutama di kalangan minoritas etnis tertentu. Perkelahian jalanan bisa juga terjadi karena diprovokasi oleh pihak eksternal.

Paulus menyatakan dua alasan mengapa pihak ketiga memiliki kepentingan dalam mempertahankan tawuran. Alasan pertama adalah pembebasan lahan murah. Di kota seperti Jakarta, di mana harga tanah terus naik, developer yang amoral berupaya mengeksploitasi pemilik tanah yang memang rentan di wilayah perkampungan miskin dan kumuh.

Di wilayah tersebut sebagian besar penduduk memiliki hak tanah mereka, terjadinya tawuran, sering merupakan langkah yang efektif untuk mendorong masyarakat menjadi jeri dan dapat diduga segera menjual tanah mereka dengan harga murah.
Alasan yang kedua adalah untuk mengalihkan perhatian dari kegiatan kriminal  di wilayah lain. Permukiman kumuh sering menjadi lahan-subur geng yang terlibat narkoba, prostitusi, dan kejahatan lainnya. Beberapa kelompok menghasut tawuran hanya untuk membuat sibuk pemerintah setempat, sehingga kegiatan mereka bisa dilanjutkan dengan leluasa.


Meningkatnya Kekerasan Remaja

Salah satu kekhawatiran bagi Paulus adalah telah berkembangnya budaya kekerasan dan pengaruhnya bagi anak-anak muda. Remaja di daerah kumuh tumbuh menyaksikan tawuran di lingkungan mereka dan menjadi peka atau stress, sementara bisa pula menjadi tertarik, bahkan menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Mereka beranjak dewasa melihat perkelahian setiap hari dan mulai mengidentifikasi diri mereka dengan berbagai geng yang terlibat.  

Namun, kedekatan karena hidup didalamnya, bukanlah satu-satunya masalah. Ada dua materi yang memperburuk skala pengaruh kekerasan terhadap anak muda Jakarta. Yang pertama, kurangnya akses terhadap pendidikan di luar sembilan tahun pertama . Yang kedua adalah kurangnya ruang hidup yang memadai di rumah. Pendidikan wajib di Indonesia mencakup sembilan tahun pendidikan gratis, dengan enam tahun Sekolah Dasar (SD) dan tiga tahun Sekolah Menengah ( SMP).

Namun, seusai SMP, biaya pendidikan sangat tinggi bagi keluarga miskin. Sementara, berbekal ijazah SMP tidak membuka peluang kerja bagi para remaja. Hal ini membuat nak-anak ini keluar dari sekolah dan menganggur.

Sosiolog seperti Hagedorn (1991) mengamati bahwa orang-orang muda yang bergabung dengan geng selama remaja, biasanya akan "jatuh tempo" ( telah keluar dari geng) segera setelah menemukan pekerjaan.

Tanpa adanya kesempatan kerja, fase yang dikatakan "jatuh tempo" itu tentu  tidak terjadi, dan remaja tetap terlibat dengan geng hingga memasuki masa dewasa mereka.

Materi/ masalah yang kedua adalah ruang hidup yang tidak memadai, yang mungkin tidak memiliki hubungan yang jelas untuk remaja bergabung dengan geng, tetapi hubungan sebab akibat yang cukup kuat. Salah satu konsekuensi dari memiliki rumah yang penuh sesak adalah tidak semua anggota keluarga dapat tidur di rumah pada waktu yang sama.

Selama jam-jam yang dianggap  malam, untuk istirahat,  prioritas sering diberikan kepada orang tua dan anak-anak. Berarti, remaja “diusir” dari rumah dan menghabiskan malam dengan remaja lain di lingkungan luar rumah.

Dengan demikian, masa remaja yang dihabiskan lebih sedikit waktunya dengan keluarga dibanding dengan sesama teman. Pada akhirnya, pengaruh teman sebaya secara proporsional lebih kuat bila dibandingkan dengan pengaruh anggota keluarga.
Dorongan untuk tetap sekolah berkurang, karena kebanyakan dari teman-teman mereka mungkin sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sebaliknya, daya tarik geng meningkat, semata-mata demi solidaritas, menjadi pilihan yang menarik.


Meretas Rantai Kekekerasan

Ada beberapa pendekatan yang berbeda untuk menangani tawuran dan aktifitas geng jalanan. Beberapa kota, seperti Nairobi, dengan tangguh menegakkan hukum di daerah kumuh secara spesifik sebagai balasan untuk tawuran dan aktifitas geng. Di Mumbai, polisi mendirikan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk membangun kantor polisi masyarakat yang dikelola oleh wakil-wakil dari masyarakat.


Komunitas "polisi" ini, terutama bertugas melaporkan dan menyelesaikan skala kecil konflik antar warga sebelum meluas menjadi kekerasan brutal yang besar. Perwakilan masyarakat ini,  membantu polisi meredakan beban sosial dan adanya selalu pendekatan-pendekatan  kepada pihak berwenang setempat, seperti Lurah, Camat, RT, RW dll (jika di Indonesia).

Pemerintah kota Jakarta sendiri telah memilih untuk "pendekatan berbasis komunitas" yang berhubungan dengan isu kekerasan ini. Pendekatan ini melibatkan partisipasi aktif dari perkumpulan-perkumpulan berbasis komunitas  yang terlibat dengan kelompok-kelompok kekerasan dan program untuk interaksi sosial yang damai diantara berbagai pihak di masyarakat.

Keuntungan utama dari metode ini adalah kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi, karena jangkauan oleh komunitas lebih mungkin untuk diterima oleh kelompok-kelompok partisipan kekerasan daripada, misalnya aparat polisi atau pemerintah kota.

Selain daripada itu, hal tersebut memiliki kelemahan juga. Yang  utama adalah pendekatan ini memerlukan sebuah komunitas yang didedikasikan untuk memecahkan masalah, dan itu memakan waktu lama untuk saling terhubung dengan cara yang nyaman kepada kelompok-kelompok yang memicu  kekerasan. Untuk jangka panjang, satu-satunya solusi yang berkelanjutan untuk menangani kekerasan di daerah kumuh adalah memberikan lebih banyak peluang kerja. 

Penyediaan pekerjaan memang efektif dalam jangka panjang karena langsung berhubungan dengan salah satu akar penyebab dari kekerasan, yakni pengangguran yang tinggi.

Namun, pelaksanaan solusi ini sulit, karena wajib merangsang akses dan pembuatan tempat kerja. Selayaknya, pemerintah Jakarta perlu melakukan salah satu dari dua hal: akses pertumbuhan ekonomi kota dalam menyediakan lowongan kerja yang lebih padat karyapada pekerjaan yang berketerampilan rendah sesuai dengan kemampuan penghuni kawasan kumuh tersebut ', atau menyediakan program yang memadai, seperti pelatihan keterampilan yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar tenaga kerja.


Ada PR beberapa hal bagi pemerintah kota dan pihak yang berwenang setempat musti diterapkan, yaitu adanya peran penting organisasi lain/ kelompok independen lain bisa ikut terlibat.

Organisasi non pemerintah berbasis akar rumput adalah kelopok paling tepat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan kesadaran untuk memecahkan masalah kekerasan serta kapasitas untuk mengatur dan terlibat dengan kelompok-kelompok kekerasan tersebut.

Salah satu contoh dapat ditemukan di Tanah Tinggi, di mana sosiolog dari Universitas Indonesia telah mencoba untuk membangun kesadaran di antara para ketua komunitas lokal tentang pentingnya menyediakan kegiatan masyarakat yang mendorong keterlibatan para warga setempat. Sebagai akibat langsung dari hal ini, Pak Zakirun, sebagai salah satu contoh, salah satu kepala komunitas yang membeli meja ping pong untuk pusat komunitasnya sehingga anak-anak akan menghabiskan malam mereka bermain ping pong bukan terlibat kegiatan geng.


Selanjutnya, sambil menunggu dampak jangka panjang solusi penciptaan lapangan kerja dan yang disebut sebagai komunitas yang berbasis partisipatoris/ keterlibatan, ada pula solusi jangka pendek  dengan beberapa organisasi yang bisa menerapkan secara langsung demi meminimalkan pengaruh kelompok kekerasan pada anak-anak.
Inisiatif Rumah Baca diluncurkan di Kampung Lio, Depok adalah salah satu contoh dengan memberikan kegiatan alternatif bagi anak-anak dan remaja untuk mencegah mereka terjerat gaya hidup kekerasan. 

Beberapa sosiolog Universitas Indonesia telah mencoba membangun studio musik sebagai kegiatan yang diarahkan pada para remaja, setelah memahami bahwa remaja di Jakarta lebih tertarik musik daripada buku.

Namun, jangkauan setiap pusat kegiatan individu secara geografis  memang terbatas. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk lebih banyak organisasi lain untuk terlibat masuk dan menyediakan berbagi jenis bantuan terhadap wilayah  kumuh di berbagai penjuru kota Jakarta.





Government agencies and other organisations concerned with poverty alleviation typically focus on physical and material issues, such as the quality of water and sanitation services, health care, and financial access. However, there are several social problems that are just as detrimental to the lives of the poor, yet go completely unnoticed. One of those problems is violence. 

Several slums bear witness to mass street fights that happen on a daily basis. These street fights happen primarily between adults, but teenagers have also started getting involved. The fights happen for a multitude of reasons, but always result in severe injuries, property damage, as well as panic and insecurity within the neighbourhood. It goes without saying that the prevalence of street fights further deteriorates quality of life in slums. 

This phenomenon is not unique to the slums in Jakarta. All over the world, slums are generally associated with high crime, gangs, and violence. For example, violence between street gangs and civilian vigilante groups in Nairobi, Kenya, has persisted for years, despite a tough stance from the government.

Brazil’s favelas are also notorious for their high rates of crime and violence. So, it is clear that a problem this pervasive requires further attention. Violent motives In Jakarta following to Professor Paulus Wirutomo who is a professor of sociology at the University of Indonesia and he lives in Tanah Tinggi, just outside one of Jakarta’s most notoriously violent slum areas, where massive brawls often break out, sometimes multiple times in a single day. 


After years of witnessing this violence first-hand, he now documents the social context of fights in an attempt to find policy solutions. He mentioned that one major cause of this violence is the people’s frustration with their life circumstances and low incomes. Built-up aggression from this frustration makes it very easy for a fight to break out for several reasons, whether it is interpersonal problems, territorial disputes, gang rivalry, or any other sort of provocation. 

People are simply looking for a way to channel their frustration and aggression. Another contributing factor that Wirutomo said is idleness and unemployment. Most of the participants of these fights are unemployed and have nothing else to do during the day. This increases the likelihood that people will join the street brawls and add to the ensuing chaos. Evidence from other countries also supports these claims. For example, following to Hagedorn, street brawls  only emerged after worsening economic conditions led to high unemployment, especially among ethnic minorities. Fights can also be instigated by external parties. 

Wirutomo stated two reasons why third parties have an interest in sustaining the street brawls. The first reason is cheap land acquisition. In a city like Jakarta, where land prices continue to climb, unscrupulous property owners seek to exploit vulnerable landowners in and around slums.
In slums where most of the residents own their land, the occurrence of frequent brawls is an effective measure to encourage people to move away and sell their land cheaply. The second reason is to distract from other criminal activities in the area. Slums are often a hotspot for gangs involved in drugs, prostitution, and other crimes. Some of these groups incite street brawls in order to occupy the local authorities, allowing their activities to continue unimpeded.

Increasingly violent youths

One growing concern that Wirutomo had was the influence that this violent culture has on the youth. Children in the slums grow up witnessing these street brawls and become desensitised or even attracted to this violent lifestyle. They grow up seeing the fights every day and start to identify with the various gangs that are involved. A recent newspaper article notes a similar situation.

However, proximity is not the only problem. As it stands, there are two material problems that exacerbate the scale of violent influence on Jakarta’s young. The first material problem is the lack of access to education beyond the first nine years. The second is lack of adequate living space in the children’s homes. Mandatory education in Indonesia spans nine years of free education, with six years of primary school and three years of junior high school. 

However, beyond junior high school, education costs are prohibitively high for poor families. Furthermore, having a junior high school diploma does not lead to any real work opportunities for these teenagers. This leaves them both out of school and unemployed. Sociologists such as Hagedorn (1991) observe that young people who join gangs during their teens will usually “mature out” of them when they are able to find employment.

However, without any employment opportunities, the “maturing out” phase does not happen, and the teenagers remain involved with gangs until well into their adulthood. The second problem of inadequate living space may not have any apparent connection to teenagers joining gangs, but the causal link is quite strong. One of the consequences of having an overcrowded home is that not all family members can sleep in the home at the same time.

During night time, priority is often given to parents and young children. This means that the teenagers are kicked out of the house and left to spend the evening with other teenagers in the neighbourhood. As the teenagers spend less time with their families and more time with each other, the influence of peers becomes disproportionately stronger when compared to the influence of family members.

The drive to stay in school wanes, as most of their friends may have already decided not to continue school. Conversely, the allure of joining gangs, solely for the sake of solidarity, becomes an appealing option. 

Breaking the violent cycle

There are several different approaches for dealing with these street fights and gang activities. Some cities, such as Nairobi, have toughened up law enforcement in the slums as a specific countermeasure for the street fights and gang activities. In Mumbai, police have set up partnerships with local communities to establish community police stations that are staffed by representatives from the community.



These community “police officers” are primarily tasked with reporting and resolving small-scale conflicts between residents before they escalate into fullblown violence. Having community representatives assist the police alleviates the burdens of understaffed police forces and also adds an element of approachability to the local authorities. The Jakarta government itself has opted for a “community-based approach” in dealing with this violence.

This approach involves active participation from neighbourhood associations in engaging with violent groups and programmes for peaceful social interactions between people in the neighbourhoods. The main advantage of this method is a higher likelihood of success, because outreach by the community is more likely to be accepted by the violent groups than outreach by authority figures such as the police or the city government. 

However, the main disadvantages are that this approach requires a community that is dedicated to solving the problem, and that it takes a long time to connect peacefully to violent groups. For the long term, the only sustainable solution for dealing with violence in slums is to provide more employment opportunities. Job provision is effective in the long run because it directly deals with one of the root causes of the violence: high unemployment. 



However, implementing this solution is tricky, because artificial stimulation of jobs is a difficult task. The Jakarta government needs to do one of two things: channel the city’s economic growth into providing more labour-intensive and low-skilled jobs that fit the slum dwellers’ skill sets, or provide adequate job skill training programmes that can raise their competitiveness in the labour market.

Aside from what governments and local communities must do, there are vital roles that other organisations can play. Grassroots non governmental organisations are well-positioned to empower local communities with the awareness to solve the problem of violence as well as the capacity to organise and engage with the violent groups.

One example can be found in Tanah Tinggi, where sociologists from the University of Indonesia have tried to build awareness among the local neighbourhood association heads on the importance of providing peaceful community activities that encourage friendly engagement among locals. As a direct result of this, Mr. Zakirun, one of the neighbourhood association heads that bought a ping pong table for his community centre so that children would spend their nights playing ping pong instead of engaging in gang activities.




Furthermore, while waiting for the impacts of the long-term solutions of job creation and community- based engagement, there are short-term solutions that several organisations have been directly implementing in order to minimise the influence of violent groups on children.

The Rumah Baca initiative launched in Kampung Lio, Depok is one example of providing alternative activities for children and teenagers to prevent them from getting sucked into a violent lifestyle. Some other University of Indonesia sociologists have tried building music studios as another activity geared towards teenagers, after seeing that teenagers in Jakarta are more drawn towards music than books.

However, the reach of any individual activity centre is geographically limited. Thus, there is a need for more organisations to step in and provide this kind of assistance to slums in other parts of the city.

Source: Asian Trends Monitoring Bulletin 16#2012




Tuesday 23 October 2012

Stop Press!!




Moving Experiment Project in Madagascar



Jace new book about his trips in Madagascar 

Tentang Jace dan Proyek Seni di Madagascar


Jace,  seniman street art dari Perancis, mengadakan perjalanan ke kepulauan Madagascar dan tinggal disana selama beberapa waktu dengan orang-orang suku Anakao. Ia melakukan eksperimen seni bersama nelayan tradisionil setempat dengan perahu-perahunya.

Proyek ini disebut Jace sebagai pengalaman berbagi dan bergerak untuk warga lokal. Bekerjasama berkarya di tempat-tempat yang  dianggap di daerah yang “tak tersentuh seni” dan tidak layak huni.




About Jace and Moving Experiment Project in Madagascar

Jace, a street artist from France, embarked on a trip to the Madagascar islands where he had his sojourn with Anakao tribesmen. 

He initiated an art endeavor with local traditional fishermen by experimenting with their boats. The project was referred to by Jace as an experience for sharing with and moving for the locals. 

He empowered them by initiatingcollaborations in places considered to be “untouchable by art” and unlivable.











Tuesday 16 October 2012

JR and street art project in Kenya to Tunisia


“I would like to bring art to improbable places, create projects so huge with the community that they are forced to ask themselves questions.” – JRBeaux Arts Magazine
photo courtesy: 
paperstreetsupplies.com

JR adalah perupa street art berasal dari Perancis yang mungkin  "paling edan" saat ini di seluruh penjuru jagad. Ia dengan ciri khas ala seniman jalanan menghindari nama asli dan identitas diri dari publisitas. JR penerima penghargaan TED prize, karena ulah karya seninya. 

Memaksa para juri takjub dan menyerahkan hadiah 1 juta dollar padanya karena proyek di daerah kumuh dan miskin, wilayah bekas perang/ revolusi rakyat, distrik rawan kekerasan di negara-negara berkembang dari Kenya sampai Tunisia.

JR menciptakan seni secara bersama, menggerakkan warga lokal dan membuat bangga atas identitas wilayahnya dengan foto-foto diri mereka (masyarakat sekitar lokasi karya tersebut), berupa poster-poster ukuran raksasa paste up.


JR is a street artist from France. In the unique manner of street artists, he gave up his real name and conceals his identity from publicity. He received TED Prize thanks to his artistic ‘mischief’.

He ‘forced’ the judges to be awed and to reward him with a 1 million dollar prize for his projects in slums, former war zones/centers of people’s revolution and JR created arts collectively. He empowers local people and makes them proud of their community identity by turning their self-portraits into giant paste up posters. 







          





























Saturday 13 October 2012

HONF and Public Activism



HONF received in 2011 the Transmediale Award for their installation Intelligent Bacteria. Transmediale is an international festival for art and digital culture that pursues the development of artistic projects reflecting on the socio-cultural, political and creative impact of new technologies. Intelligent Bacteria - Saccharomyces cerevisiae responds to the high number of deaths in Indonesia due to alcohol consumption.  Through acoustic and performance installation this project seeks to draw attention to such a pressing social and cultural issue.
photo courtesy: http://culture360.org
The founder of HONF
photo courtesy: http://www.youngart.ru


The House Of Natural Fiber (HONF) merupakan sebuah laboratorium media-art yang dijalankan oleh komunitas yang bersifat terbuka di Yogyakarta, Indonesia. Metodologi kerjanya sebagian besar terkait dengan kebutuhan lintas-tindakan kolaboratif yang merespon perkembangan teknologi dan praksis penggunaannya dalam kehidupan keseharian.

Awalnya, mereka memulai eksistensinya sebagai sebuah komunitas berusia muda yang ingin melakukan apa saja yang memang ingin dikerjakan, dengan kecenderungan semangat kebersamaan yag alamiah dan tidak bekerja untuk keuntungan pribadi. Mereka kemudian berkonsentrasi pada prinsip-prinsip kritik dan penciptaan inovatif yang lebih relevan bagi mereka sendiri, keluarga dan masyarakat.

Berpikir ke depan secara positif dan kreatif-adalah visi HONF, yang diimplementasikan dengan bekerja terhadap pengembangan seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi bagi masyarakat. Berbekal visi tersebut, HONF memulai Program Pendidikan Focus (EFP), kurikulum yang menjadi  pedoman untuk kegiatan HONF, dan sebagai respons terhadap situasi global sekaligus kondisi di Indonesia.

EFP berkonsentrasi pada pertukaran pengetahuan interdisipliner dengan menganalisa secara kritis  isu-isu lokal dan global, dan menciptakan ide-ide inovatif untuk mencari solusi terhadap mereka. Untuk mempercepat dampak, acara seperti Cellsbutton, Yogyakarta International Media Art Festival, dan YIVF, Yogyakarta International Videowork Festival, yang diselenggarakan setiap tahun mengajak masyarakat lokal dan internasional untuk berkolaborasi dan memperluas kemungkinan baru dalam praktek-praktek inovatif dan kreatif.



The House Of Natural Fiber (HONF) is a media-art laboratory run by an open community in Yogyakarta, Indonesia. Their methodology is mostly concerned with the needs of cross-collaborative actions responding to technology development and practical use in daily life. In the beginning, they started off as a young community that wanted to do whatever they wished, with a natural inclination to create with a spirit of togetherness and not work simply for personal profit. They concentrate on principles of critique and innovative creation that is relevant to them, their family, the society, and to their environment. 

Thinking forward—positively and creatively—is HONF’s vision, which is implemented by working towards the development of art, science, and technology for society. With this vision, HONF initiated Education Focus Program (EFP), a curriculum that acts as a guideline for HONF activities, and is in response to global situations and conditions in Indonesia. EFP concentrates on interdisciplinary knowledge exchanges in critical analysis towards local and global issues, and creating innovative ideas to seek solutions toward them. To accelerate the impact, Cellsbutton, Yogyakarta International Media Art Festival, and YIVF, Yogyakarta International Videowork Festival, are held annually to invite local and international communities to collaborate and expand new possibilities in creative innovative practices.

source: www.natural-fiber.com







Cold Lava Flowing to the RiverCode - Mount Merapi Yogyakarta 1, Central Java, Indonesia
photo courtesy: 
article.wn.com

Cold Lava Flowing to the River Code - Mount Merapi Yogyakarta 2, Central Java, Indonesiaphoto courtesy: article.wn.com
Dozens of people witnessed the cold lava of Merapi flooding River
source and photo courtesymannaismayaadventure.com

Intelligent Bacteria on display at the New Museum, New York, USA. 

After the eruption of Merapi Mountain, HONF did an experiment and found that part of the Code River (In Jogya, Central of Java, Indonesia) was polluted, but people still drink and swim [in it]; People use it in their daily life. After that, HONF started a research project to find a solution for the people. To filtrate water. In this project, They brought fiour examples of the river of their city and showed a real time projection from the microscope connected with plants as a life form and how to keep low frequency electro magnetic waves from the plant. HONF believe that all material produces energy, and they work a lot with energy.

.Image courtesy of the New Museum, New York. Photo: Jesse Untracht-Oakner