Thursday, 4 October 2012

Why Kampoong?


Slum area at the river bank

Kampoong berasal  dari kata Belanda dialih bahasakah dari kata Kampung (Bahasa Melayu) menjadi Kampoong. Sedang diadakannya proyek seni  “Kampoong Art Attack” berangkat dari keprihatinan terjadinya segregasi sosial akut yang menimpa masyarakat kelas bawah dan dianggap tersisih di kota Jakarta hari ini. Dalam bentuknya yang paling nyata adalah proses peminggiran berbagai nilai-nilai yang tumbuh secara alamiah dan ruang berekpresinya.  

Kampung-kampung, gang-gang “tikus” atau daerah “slum” harus menerima masalah klasik berulang: kriminalitas dan kemiskinan dalam segala hal. Dominasi politik dan ekonomi para elit penguasa dengan terang benderang memaksa dan mengeksploitasi wong cilik. Mereka tidak lagi punya peran dan akses untuk meningkatkan pemberdayaan diri.

Problem perencanaan kota yang semrawut, tingkat urbanisasi yang menggila tiap tahun, keputusan politik yang berpihak pada kelas menengah- atas, terbatasnya ruang untuk tempat tinggal, berbagai desakan dan pengaruh investor besar tentu saja segera menelantarkan kampung-kampung dengan masyarakatnya yang  “old fashioned” tersebut.


“Kampoong” is a Dutch word directly translated from a Malay word “kampung.” The idea of “Kampoong Art Attack” project itself was born from the concern about the acute social segregation that impinges on the grassroots society, which is marginalized in Jakarta today.  The most evident indication is the marginalization process of values that are supposed to grow naturally and the room to express them.

Kampoongs, ‘rats-alleys’, ghetto or slums area have to face recurring classic issues: crime and poverty in every aspect. Political and economical domination of the elite rulers transparently coerce and exploit the inferiors. They no longer play roles in the society and have access to improve self empowerment. 

Complications like chaotic urban planning, skyrocketing annual level of urbanization, political decisions that endorse the upper-middle class, limited space for domicile and pressures and influences from important investors, inevitably leave the kampongs and their ‘old-fashioned’ inhabitants neglected.





Jakarta city in clouds
photo courtesy: http://www.nationalcapitals.net/jakarta-clouds-indonesia.html

Part of  "a beauty- Jakarta" seen by bird eyes angle
photo courtesy: http://www.riconsulate.am/index.php?id=100





No comments:

Post a Comment