Instansi pemerintah kota, tentu saja dalam hal ini kota Jakarta dan organisasi lain yang peduli dengan pengentasan kemiskinan biasanya selalu memperhatikan pada masalah pembangunan fisik dan materi saja. Misalnya, kualitas pelayanan air dan sanitasi, perawatan kesehatan, dan akses ekonomi. Namun, ada beberapa masalah sosial yang menjadi beban serius bagi masyarakat di wilayah kumuh dan miskin belum benar-benar diperhatikan. Salah satu masalah tersebut adalah: kekerasan.
Wilayah yang
miskin dan kumuh menjadi saksi perkelahian masal jalanan yang terjadi setiap
hari. Perkelahian jalanan yang kita kenal dengan istilah tawuran, meruyak
diantara orang-orang yang berusia dewasa utamanya. Yang memprihatinkan remaja juga
mulai ikut-ikutan.
Tawuran terjadi karena banyak sebab, tapi
selalu mengakibatkan korban manusia yang terluka parah, kerusakan harta benda,
munculnya kepanikan dan rasa ketidakamanan di dalam lingkungan mereka. Tak usah
dijelaskan lagi bahwa memang membuat semakin buruk kualitas hidup di wilayah kumuh
dan miskin.
Fenomena semacam
ini tidak lagi dianggap unik di daerah miskin dan kumuh seperti di Jakarta. Kita
tahu, di seluruh dunia, kumuh umumnya dekat dengan tingginya kasus kejahatan, eksisnya geng-geng, dan kekerasan. Sebagai
contoh, kekerasan antar geng jalanan dan kelompok anarkis (biasanya aksi main
hakim sendiri) di Nairobi, Kenya, telah berlangsung bertahun-tahun lamanya,
meski pemerintah bertindak keras pada mereka.
Di wilayah distrik
kumuh dan miskin Favelas di Brasil juga tenar karena tingginya angka kriminalitas
dan kekerasan. Jadi, sudah jelas bahwa masalah ini memerlukan perhatian lebih
mendalam lagi. Motif kekerasan di Jakarta menurut Profesor Paulus Wirutomo seorang
sosiolog dari Universitas Indonesia dan kebetulan ia tinggal di Tanah Tinggi --
di dekat wilayah yang paling terkenal sering terjadi tawuran antar kampung di
Jakarta--- tawuran masal kerap berulang, bahkan terkadang beberapa kali terjadi dalam satu
hari.
Paulus,
menyaksikan sendiri kekerasan ini bertahun-tahun lamanya. Ia sekarang
mendokumentasikan apa saja yang menjadi konteks sosial dari tawuran tersebut
dalam upayanya untuk menemukan solusi. Ia menyebut bahwa salah satu penyebab
utama kekerasan ini adalah karena orang kampung frustrasi dengan keadaan lingkungan dimana mereka hidup dan penghasilan rendah.
Rasa frustrasi
ini membangun sikap agresif, membuat masyarakat kampung sangat mudah menimbulkan peristiwa tawuran yang dipicu oleh beberapa alasan. Bisa saja
masalah dendam pribadi, sengketa teritorial (perebutan hak lahan-tanah),
persaingan antar geng, atau karena provokasi bentuk lainnya.
Orang
kampung hanya mencari cara untuk menyalurkan rasa frustrasi dan agresinya.
Faktor lain, bagi Paulus adalah malas dan menganggur. Sebagian besar partisipan
tawuran menganggur dan memang tidak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan pada
siang hari. Tentu saja, hal tersebut meningkatkan kemungkinan bahwa orang akan
bergabung dengan tawuran dan mencipta kekacauan-kekacauan sesudahnya.
Dari
pengalaman negara lain, sebagai contoh, menurut sosiolog seperti Robert Hagedorn,
kekerasan menampakkan parasnya segera setelah memburuknya kondisi ekonomi dan menyebabkan
pengangguran yang hebat. Terutama di kalangan minoritas etnis tertentu. Perkelahian jalanan bisa juga terjadi karena diprovokasi oleh pihak eksternal.
Paulus
menyatakan dua alasan mengapa pihak ketiga memiliki kepentingan dalam
mempertahankan tawuran. Alasan pertama adalah pembebasan lahan murah. Di kota
seperti Jakarta, di mana harga tanah terus naik, developer yang amoral berupaya
mengeksploitasi pemilik tanah yang memang rentan di wilayah perkampungan miskin
dan kumuh.
Di wilayah
tersebut sebagian besar penduduk memiliki hak tanah mereka, terjadinya tawuran,
sering merupakan langkah yang efektif untuk mendorong masyarakat menjadi jeri dan dapat diduga segera menjual tanah mereka dengan harga murah.
Alasan yang kedua
adalah untuk mengalihkan perhatian dari kegiatan kriminal di wilayah lain. Permukiman kumuh sering menjadi
lahan-subur geng yang terlibat narkoba, prostitusi, dan kejahatan lainnya.
Beberapa kelompok menghasut tawuran hanya untuk membuat sibuk pemerintah
setempat, sehingga kegiatan mereka bisa dilanjutkan dengan leluasa.
Meningkatnya
Kekerasan Remaja
Salah satu
kekhawatiran bagi Paulus adalah telah berkembangnya budaya kekerasan dan
pengaruhnya bagi anak-anak muda. Remaja di daerah kumuh tumbuh menyaksikan tawuran
di lingkungan mereka dan menjadi peka atau stress, sementara bisa pula menjadi tertarik,
bahkan menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Mereka beranjak
dewasa melihat perkelahian setiap hari dan mulai mengidentifikasi diri mereka
dengan berbagai geng yang terlibat.
Namun,
kedekatan karena hidup didalamnya, bukanlah satu-satunya masalah. Ada dua
materi yang memperburuk skala pengaruh kekerasan terhadap anak muda Jakarta. Yang
pertama, kurangnya akses terhadap pendidikan di luar sembilan tahun pertama .
Yang kedua adalah kurangnya ruang hidup yang memadai di rumah. Pendidikan wajib
di Indonesia mencakup sembilan tahun pendidikan gratis, dengan enam tahun
Sekolah Dasar (SD) dan tiga tahun Sekolah Menengah ( SMP).
Namun, seusai
SMP, biaya pendidikan sangat tinggi bagi keluarga miskin. Sementara, berbekal ijazah
SMP tidak membuka peluang kerja bagi para remaja. Hal ini membuat nak-anak ini keluar
dari sekolah dan menganggur.
Sosiolog
seperti Hagedorn (1991) mengamati bahwa orang-orang muda yang bergabung dengan
geng selama remaja, biasanya akan "jatuh tempo" ( telah keluar dari
geng) segera setelah menemukan pekerjaan.
Tanpa adanya
kesempatan kerja, fase yang dikatakan "jatuh tempo" itu tentu tidak terjadi, dan remaja tetap terlibat
dengan geng hingga memasuki masa dewasa mereka.
Materi/
masalah yang kedua adalah ruang hidup yang tidak memadai, yang mungkin tidak
memiliki hubungan yang jelas untuk remaja bergabung dengan geng, tetapi
hubungan sebab akibat yang cukup kuat. Salah satu konsekuensi dari memiliki
rumah yang penuh sesak adalah tidak semua anggota keluarga dapat tidur di rumah
pada waktu yang sama.
Selama
jam-jam yang dianggap malam, untuk
istirahat, prioritas sering diberikan
kepada orang tua dan anak-anak. Berarti, remaja “diusir” dari rumah dan menghabiskan
malam dengan remaja lain di lingkungan luar rumah.
Dengan
demikian, masa remaja yang dihabiskan lebih sedikit waktunya dengan keluarga dibanding
dengan sesama teman. Pada akhirnya, pengaruh teman sebaya secara proporsional lebih
kuat bila dibandingkan dengan pengaruh anggota keluarga.
Dorongan
untuk tetap sekolah berkurang, karena kebanyakan dari teman-teman mereka
mungkin sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sebaliknya, daya
tarik geng meningkat, semata-mata demi solidaritas, menjadi pilihan yang
menarik.
Meretas Rantai
Kekekerasan
Ada beberapa
pendekatan yang berbeda untuk menangani tawuran dan aktifitas geng jalanan. Beberapa
kota, seperti Nairobi, dengan tangguh menegakkan hukum di daerah kumuh secara spesifik
sebagai balasan untuk tawuran dan aktifitas geng. Di Mumbai, polisi mendirikan
kemitraan dengan masyarakat setempat untuk membangun kantor polisi masyarakat
yang dikelola oleh wakil-wakil dari masyarakat.
Komunitas
"polisi" ini, terutama bertugas melaporkan dan menyelesaikan skala kecil
konflik antar warga sebelum meluas menjadi kekerasan brutal yang besar. Perwakilan
masyarakat ini, membantu polisi
meredakan beban sosial dan adanya selalu pendekatan-pendekatan kepada pihak berwenang setempat, seperti
Lurah, Camat, RT, RW dll (jika di Indonesia).
Pemerintah kota
Jakarta sendiri telah memilih untuk "pendekatan berbasis komunitas" yang
berhubungan dengan isu kekerasan ini. Pendekatan ini melibatkan partisipasi aktif
dari perkumpulan-perkumpulan berbasis komunitas yang terlibat dengan kelompok-kelompok
kekerasan dan program untuk interaksi sosial yang damai diantara berbagai pihak
di masyarakat.
Keuntungan
utama dari metode ini adalah kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi, karena
jangkauan oleh komunitas lebih mungkin untuk diterima oleh kelompok-kelompok partisipan
kekerasan daripada, misalnya aparat polisi atau pemerintah kota.
Selain
daripada itu, hal tersebut memiliki kelemahan juga. Yang utama adalah pendekatan ini memerlukan sebuah
komunitas yang didedikasikan untuk memecahkan masalah, dan itu memakan waktu
lama untuk saling terhubung dengan cara yang nyaman kepada kelompok-kelompok
yang memicu kekerasan. Untuk jangka
panjang, satu-satunya solusi yang berkelanjutan untuk menangani kekerasan di
daerah kumuh adalah memberikan lebih banyak peluang kerja.
Penyediaan pekerjaan
memang efektif dalam jangka panjang karena langsung berhubungan dengan salah
satu akar penyebab dari kekerasan, yakni pengangguran yang tinggi.
Namun,
pelaksanaan solusi ini sulit, karena wajib merangsang akses dan pembuatan
tempat kerja. Selayaknya, pemerintah Jakarta perlu melakukan salah satu dari
dua hal: akses pertumbuhan ekonomi kota dalam menyediakan lowongan kerja yang lebih
padat karyapada pekerjaan yang berketerampilan rendah sesuai dengan kemampuan penghuni
kawasan kumuh tersebut ', atau menyediakan program yang memadai, seperti pelatihan
keterampilan yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar tenaga kerja.
Ada PR beberapa
hal bagi pemerintah kota dan pihak yang berwenang setempat musti diterapkan,
yaitu adanya peran penting organisasi lain/ kelompok independen lain bisa ikut
terlibat.
Organisasi
non pemerintah berbasis akar rumput adalah kelopok paling tepat untuk
memberdayakan masyarakat lokal dengan kesadaran untuk memecahkan masalah
kekerasan serta kapasitas untuk mengatur dan terlibat dengan kelompok-kelompok
kekerasan tersebut.
Salah satu
contoh dapat ditemukan di Tanah Tinggi, di mana sosiolog dari Universitas
Indonesia telah mencoba untuk membangun kesadaran di antara para ketua
komunitas lokal tentang pentingnya menyediakan kegiatan masyarakat yang
mendorong keterlibatan para warga setempat. Sebagai akibat langsung dari hal
ini, Pak Zakirun, sebagai salah satu contoh, salah satu kepala komunitas yang
membeli meja ping pong untuk pusat komunitasnya sehingga anak-anak akan
menghabiskan malam mereka bermain ping pong bukan terlibat kegiatan geng.
Selanjutnya,
sambil menunggu dampak jangka panjang solusi penciptaan lapangan kerja dan yang
disebut sebagai komunitas yang berbasis partisipatoris/ keterlibatan, ada pula
solusi jangka pendek dengan beberapa
organisasi yang bisa menerapkan secara langsung demi meminimalkan pengaruh
kelompok kekerasan pada anak-anak.
Inisiatif Rumah
Baca diluncurkan di Kampung Lio, Depok adalah salah satu contoh dengan memberikan
kegiatan alternatif bagi anak-anak dan remaja untuk mencegah mereka terjerat gaya
hidup kekerasan.
Beberapa sosiolog Universitas Indonesia telah mencoba
membangun studio musik sebagai kegiatan yang diarahkan pada para remaja,
setelah memahami bahwa remaja di Jakarta lebih tertarik musik daripada buku.
Namun,
jangkauan setiap pusat kegiatan individu secara geografis memang terbatas. Dengan demikian, ada
kebutuhan untuk lebih banyak organisasi lain untuk terlibat masuk dan
menyediakan berbagi jenis bantuan terhadap wilayah kumuh di berbagai penjuru kota Jakarta.
Government agencies and other organisations concerned with poverty alleviation typically focus on physical and material issues, such as the quality of water and sanitation services, health care, and financial access. However, there are several social problems that are just as detrimental to the lives of the poor, yet go completely unnoticed. One of those problems is violence.
Several slums
bear witness to mass street fights that happen on a daily basis. These street
fights happen primarily between adults, but teenagers have also started getting
involved. The fights
happen for a multitude of reasons, but always result in severe injuries,
property damage, as well as panic and insecurity within the neighbourhood. It
goes without saying that the prevalence of street fights further deteriorates
quality of life in slums.
This phenomenon is not unique to the slums in
Jakarta. All over the world, slums are generally associated with high crime,
gangs, and violence. For example, violence between street gangs and civilian
vigilante groups in Nairobi, Kenya, has persisted for years, despite a tough
stance from the government.
Brazil’s
favelas are also notorious for their high rates of crime and violence. So, it
is clear that a problem this pervasive requires further attention. Violent
motives In Jakarta following to Professor Paulus Wirutomo who is a
professor of sociology at the University of Indonesia and he lives in Tanah
Tinggi, just outside one of Jakarta’s most notoriously violent slum areas,
where massive brawls often break out, sometimes multiple times in a single day.
After years of witnessing this violence first-hand, he now documents the social context of fights in an attempt to find policy solutions. He mentioned that one major cause of this violence is the people’s frustration with their life circumstances and low incomes. Built-up aggression from this frustration makes it very easy for a fight to break out for several reasons, whether it is interpersonal problems, territorial disputes, gang rivalry, or any other sort of provocation.
People are simply looking for a way to channel their
frustration and aggression. Another contributing factor that Wirutomo said is
idleness and unemployment. Most of the participants of these fights are
unemployed and have nothing else to do during the day. This
increases the likelihood that people will join the street brawls and add to the
ensuing chaos. Evidence from other countries also supports these claims. For
example, following to Hagedorn, street brawls only emerged after worsening economic conditions led to high
unemployment, especially among ethnic minorities. Fights can also be instigated
by external parties.
Wirutomo stated two reasons why third parties have an
interest in sustaining the street brawls. The first reason is cheap land acquisition.
In a city like Jakarta, where land prices continue to climb, unscrupulous
property owners seek to exploit vulnerable landowners in and around slums.
In slums
where most of the residents own their land, the occurrence of frequent brawls
is an effective measure to encourage people to move away and sell their land
cheaply. The second reason is to distract from other criminal activities in the
area. Slums are often a hotspot for gangs involved in drugs, prostitution, and other
crimes. Some of these groups incite street brawls in order to occupy the local
authorities, allowing their activities to continue unimpeded.
Increasingly violent youths
One growing
concern that Wirutomo had was the influence that this violent culture has on
the youth. Children in the slums grow up witnessing these street brawls and
become desensitised or even attracted to this violent lifestyle. They grow up
seeing the fights every day and start to identify with the various gangs that
are involved. A recent newspaper article notes a similar situation.
However,
proximity is not the only problem. As it stands, there are two material
problems that exacerbate the scale of violent influence on Jakarta’s young. The
first material problem is the lack of access to education beyond the first nine
years. The second is lack of adequate living space in the children’s homes. Mandatory
education in Indonesia spans nine years of free education, with six years of primary
school and three years of junior high school.
However, beyond junior high
school, education costs are prohibitively high for poor families. Furthermore,
having a junior high school diploma does not lead to any real work opportunities
for these teenagers. This leaves them both out of school and unemployed. Sociologists
such as Hagedorn (1991) observe that young people who join gangs during their teens
will usually “mature out” of them when they are able to find employment.
However, without
any employment opportunities, the “maturing out” phase does not happen, and the
teenagers remain involved with gangs until well into their adulthood. The
second problem of inadequate living space may not have any apparent connection to
teenagers joining gangs, but the causal link is quite strong. One of the
consequences of having an overcrowded home is that not all family members can
sleep in the home at the same time.
During night
time, priority is often given to parents and young children. This means that the
teenagers are kicked out of the house and left to spend the evening with other
teenagers in the neighbourhood. As the teenagers spend less time with their
families and more time with each other, the influence of peers becomes
disproportionately stronger when compared to the influence of family members.
The drive to
stay in school wanes, as most of their friends may have already decided not to
continue school. Conversely, the allure of joining gangs, solely for the sake
of solidarity, becomes an appealing option.
Breaking the violent cycle
There are several different approaches for dealing with these street fights and gang activities. Some cities, such as Nairobi, have toughened up law enforcement in the slums as a specific countermeasure for the street fights and gang activities. In Mumbai, police have set up partnerships with local communities to establish community police stations that are staffed by representatives from the community.
Breaking the violent cycle
There are several different approaches for dealing with these street fights and gang activities. Some cities, such as Nairobi, have toughened up law enforcement in the slums as a specific countermeasure for the street fights and gang activities. In Mumbai, police have set up partnerships with local communities to establish community police stations that are staffed by representatives from the community.
These community “police officers” are primarily tasked with reporting and resolving small-scale conflicts between residents before they escalate into fullblown violence. Having community representatives assist the police alleviates the burdens of understaffed police forces and also adds an element of approachability to the local authorities. The Jakarta government itself has opted for a “community-based approach” in dealing with this violence.
This
approach involves active participation from neighbourhood associations in engaging
with violent groups and programmes for peaceful social interactions between people
in the neighbourhoods. The main advantage of this method is a higher likelihood
of success, because outreach by the community is more likely to be accepted by
the violent groups than outreach by authority figures such as the police or the
city government.
However, the main disadvantages are that this approach
requires a community that is dedicated to solving the problem, and that it
takes a long time to connect peacefully to violent groups. For the long
term, the only sustainable solution for dealing with violence in slums is to provide
more employment opportunities. Job provision is effective in the long run
because it directly deals with one of the root causes of the violence: high
unemployment.
However, implementing this solution is tricky, because artificial stimulation of jobs is a difficult task. The Jakarta government needs to do one of two things: channel the city’s economic growth into providing more labour-intensive and low-skilled jobs that fit the slum dwellers’ skill sets, or provide adequate job skill training programmes that can raise their competitiveness in the labour market.
Aside from
what governments and local communities must do, there are vital roles that other
organisations can play. Grassroots non governmental organisations are
well-positioned to empower local communities with the awareness to solve the
problem of violence as well as the capacity to organise and engage with the
violent groups.
One example can be found in Tanah Tinggi,
where sociologists from the University of Indonesia have tried to build
awareness among the local neighbourhood association heads on the importance of
providing peaceful community activities that encourage friendly engagement
among locals. As a direct result of this, Mr. Zakirun, one of the neighbourhood
association heads that bought a ping pong table for his community
centre so that children would spend their nights playing ping pong instead of
engaging in gang activities.
Furthermore, while waiting for the impacts of the
long-term solutions of job creation and community- based engagement, there are
short-term solutions that several organisations have been directly implementing
in order to minimise the influence of violent groups on children.
The Rumah
Baca initiative launched in Kampung Lio, Depok is one example of providing alternative
activities for children and teenagers to prevent them from getting sucked into
a violent lifestyle. Some other University of Indonesia sociologists have tried
building music studios as another activity geared towards teenagers, after seeing
that teenagers in Jakarta are more drawn towards music than books.
However, the
reach of any individual activity centre is geographically limited. Thus, there
is a need for more organisations to step in and provide this kind of assistance
to slums in other parts of the city.
Source: Asian Trends Monitoring Bulletin 16#2012
No comments:
Post a Comment