Tawuran di kampoong - Kampoong brawls photo courtesy: http://www.wartanews.com/monaspolitan/0f3924c5-ba81-9889-29d1-198d905cbcde/warga-johar-baru-tawuran-lagi |
Pada era
modern, dan mungkin hanya satu-satunya di dunia, kota Jakartalah yang memiliki keniscayaan
kampung-kampung yang majemuk. Sebagian
bertransformasi menjadi modern dan sebagian lainnya memilih tetap bertahan,
memegang teguh nilai-nilai tradisi.
Masyarakat kampung
mengalami benturan keras dengan proses modernisasi. Yang dulunya bersifat
kekeluargaan- gemeinschaft berubah
mengental menjadi individualis- gesellschaft
setahap demi setahap. Cenderung menaggalkan karakter masyarakat batih yang guyub.
Sikap
primordial masyarakat kampung mungkin telah luluh-lantak, tidak siap medapati
diri mereka mengalami gegar-budaya. Saat ini lebih kuat lagi tantangannya
dengan dampak destruktif makin hebat. Lokasi kampung menjadi lebih kumuh, miskin
dan tertinggal karena perubahan yang makin cepat dan mendadak. Kampung-kampung
tua telah tergeser, menempati wilayah lama tetapi dirasa makin asing dan terisolir
bagi warganya sendiri.
Kota modern
Megapolitan seperti Jakarta sebagai induk, tumbuh pesat bahkan tak terkontrol.
Pada waktu yang sama menanggalkan masyarakat kampung dengan kultur lama yang samar-samar
masih dipegang . Akhirnya, masyarakat kampung benar-benar tersisih. Sebagian dari
mereka tetap survival di lokasi pusat
kota, bantaran kali, gang-gang atau daerah pinggiran berdekatan dengan wilayah
industri dan pabrik.
Kampoong peoples in East Jakarta photo courtesy: timur.jakarta.go.id |
One of cluster houses in Jakarta photo courtesy: grandwisataku.wordpress.com |
Floods at Kampoong Melayu, East Jakarta photo courtesy: http://metro.news.viva.co.id |
One of houses in Jakarta Slum area |
In this
modern era, Jakarta maybe the only city in the world where the pluralistic
kampoongs survive time after time. Some transform and become more modern, some
others choose to stay true to traditional values.
The kampong
people experience a hard clash with modernization process. Little by little,
the familial nature (gemeinschaft)
has been turning more and more individualistic (gesellschaft). These days kampoongs tend to abandon their tight-knit
ties and communal characteristics.
Their
primordial attitude may have begun to fall apart, due to their unpreparedness
in dealing with cultural clashes. Now the challenges are even stronger with
greater destructive impacts. The neighborhoods get dirtier, poorer and even
more left behind – unable to keep up with the swift and sudden changes.
Old kampongs
are marginalized, alienated and isolated from their own inhabitants when they
still remain in the same old locations. Meanwhile, the patron, the modern
megapolitan Jakarta, keeps on growing rapidly, up to the point where the
development gets uncontrollable. This process abandons the kampoong people who
still faintly hold on to old cultures. Eventually, the kampoong people become totally
marginalized. Some of them still survive in central locations such as river
banks and alleys, while the others are pushed to peripheral locations near
industrial areas.
No comments:
Post a Comment