Thursday, 4 October 2012

Transformation of Kampoong People

Tawuran di kampoong - Kampoong brawls
photo courtesy: http://www.wartanews.com/monaspolitan/0f3924c5-ba81-9889-29d1-198d905cbcde/warga-johar-baru-tawuran-lagi


Pada era modern, dan mungkin hanya satu-satunya di dunia, kota Jakartalah yang memiliki keniscayaan kampung-kampung yang  majemuk. Sebagian bertransformasi menjadi modern dan sebagian lainnya memilih tetap bertahan, memegang teguh nilai-nilai tradisi.

Masyarakat kampung mengalami benturan keras dengan proses modernisasi. Yang dulunya bersifat kekeluargaan- gemeinschaft berubah mengental menjadi individualis- gesellschaft setahap demi setahap. Cenderung menaggalkan karakter masyarakat batih yang guyub.

Sikap primordial masyarakat kampung mungkin telah luluh-lantak, tidak siap medapati diri mereka mengalami gegar-budaya. Saat ini lebih kuat lagi tantangannya dengan dampak destruktif makin hebat. Lokasi kampung menjadi lebih kumuh, miskin dan tertinggal karena perubahan yang makin cepat dan mendadak. Kampung-kampung tua telah tergeser, menempati wilayah lama tetapi dirasa makin asing dan terisolir bagi warganya sendiri.

Kota modern Megapolitan seperti Jakarta sebagai induk, tumbuh pesat bahkan tak terkontrol. Pada waktu yang sama menanggalkan masyarakat kampung dengan kultur lama yang samar-samar masih dipegang . Akhirnya, masyarakat kampung benar-benar tersisih. Sebagian dari mereka tetap survival di lokasi pusat kota, bantaran kali, gang-gang atau daerah pinggiran berdekatan dengan wilayah industri dan pabrik. 


Kampoong peoples in East Jakarta
photo courtesy: timur.jakarta.go.id


One of cluster houses in Jakarta
photo courtesy: grandwisataku.wordpress.com
Floods at Kampoong Melayu, East Jakarta
photo courtesy: http://metro.news.viva.co.id

One of houses in Jakarta Slum area


In this modern era, Jakarta maybe the only city in the world where the pluralistic kampoongs survive time after time. Some transform and become more modern, some others choose to stay true to traditional values.

The kampong people experience a hard clash with modernization process. Little by little, the familial nature (gemeinschaft) has been turning more and more individualistic (gesellschaft). These days kampoongs tend to abandon their tight-knit ties and communal characteristics.

Their primordial attitude may have begun to fall apart, due to their unpreparedness in dealing with cultural clashes. Now the challenges are even stronger with greater destructive impacts. The neighborhoods get dirtier, poorer and even more left behind – unable to keep up with the swift and sudden changes.

Old kampongs are marginalized, alienated and isolated from their own inhabitants when they still remain in the same old locations. Meanwhile, the patron, the modern megapolitan Jakarta, keeps on growing rapidly, up to the point where the development gets uncontrollable. This process abandons the kampoong people who still faintly hold on to old cultures. Eventually, the kampoong people become totally marginalized. Some of them still survive in central locations such as river banks and alleys, while the others are pushed to peripheral locations near industrial areas.
                                                                                    



No comments:

Post a Comment